MBAH FUAD TELADAN KESALEHAN
“Kalau kakak sulung kami bukan Cak Fuad, belum tentu kita punya kenikmatan Padhangmbulan dan Maiyah seperti ini. Kalau di antara 15 bersaudara kami sulungnya bukan Cak Fuad, kita semua Jamaah Maiyah tidak akan pernah punya wadah intimitas, sumber ilmu, dan cakrawala hikmah seperti yang kita nikmati sekarang di Padhangmbulan dan semua lingkaran Maiyah lainnya di berbagai “kebun sorga” di bumi.”
Di atas adalah penggalan tulisan Mbah Nun berjudul ”Fuadus-Sab’ah” yang dipersembahkan untuk Marja’ Maiyah Ahmad Fuad Effendi (Mbah Fuad) dalam rangka mangayubagya milad beliau ke-70 tahun. Tepatnya 2017 lalu. Dari kisah panjang yang dituturkan oleh Mbah Nun, kita disuguhi fakta-fakta mengagumkan sekaligus mengharukan terkait Mbah Fuad.
Anak sulung memang punya beban dan tanggung jawab lebih. Apalagi laki-laki. Apalagi adiknya banyak. Ia ibarat tangan kanan orangtua. Perwakilan bapak-ibu. Ia harus pandai ngemong adik-adiknya. Harus banyak-banyak ngalah. Kudu lebih sabar. Lebih kuat. Legowo. Ngampet. Narimo. Dan kudu-kudu yang lain. Menurut penuturan Mbah Nun, semua kriteria itu ada dalam diri Mbah Fuad.
Saya pribadi, terbilang jarang bermuwajahah dengan Mbah Fuad. Di Mentoro sekali, dan beberapa kali di Mocopat Syafaat. Namun dari sorot mata, tutur, dan gestur ketika beliau berada di forum, tampak sekali aura kesederhanaan dan kerendah hatian seorang Mbah Fuad. Beliau tidak pernah menggebu-gebu, ujub, alih-alih menonjolkan diri. Mbah Fuad tipikal pribadi santun nan murah senyum.
Salah satu tanda Wali Allah yang paling kasat ialah dianugerahi oleh-Nya keteduhan jiwa dan raga. Manakala kita memandang wajahnya, kita akan merasakan adem, ayem, hilang rasa cemas, khawatir, dan gelisah. Seperti itu pula yang kurang lebih kita alami dan rasakan setiap kali berjumpa—-bertatap muka langsung dengan Mbah Fuad.
Sampai kemudian kabar duka itu datang. Di hari yang mulia, Jumat (20/1) Mbah Fuad ditimbali Yang Maha Kuasa. Doa dan salat gaib didirikan. Dari jauh, saya pun menyaksikan prosesi pemakaman Mbah Fuad via streaming. Airmata menggenang. Basah. Mbrebes mili. Sesek, haru, takdzim, jadi satu. Apa yang disampaikan Pak Nevi dan Mbah Nun, kami pun persis merasakan seraya mengamininya.
“Jika Islam mengajarkan kesalehan, maka Cak Fuad adalah cermin kesalehan lahir dan batin. Jika Islam mengajarkan syariat, maka Cak Fuad adalah manusia utama pengamal syariat. Jika Islam mengajarkan kesabaran, maka Cak Fuad adalah kesabaran itu sendiri.”
“Cak Fuad cukup dengan angka tujuh. Tidak nafsu menjadi delapan. Dan tidak punya ambisi mengejar sembilan apalagi sepuluh. Prinsip itu dipegang teguh oleh beliau, sejak dulu hingga akhir hayat Cak Fuad. Saya dan keluarga besar kami menyaksikannya sendiri.” Tutur Mbah Nun, sambil sesekali sesenggukan menahan pilu.
Kalau selama ini kita gembira dengan ber-Maiyah, bisa mereguk ilmu, menyerap nilai, menjalin koneksi satu dengan yang lain, sehingga memperoleh keuntungan dan keberkahan yang bermacam-macam, maka itu semua tak lepas dari ikhtiar panjang dari Marja’, guru, dan teladan kita semua, Mbah A. Fuad Effendy. Berterima kasihlah. Berbahagialah.
Dari ragam kesalehan yang melekat pada Mbah Fuad, mari kita contoh, kita tiru, kita teladani bersama. Semampu-mampunya. Sesuai kapasitas diri masing-masing kita. Laa yukallifullahu nafsan illaa wus’ahaa.
Rabu besok (25/1) adalah 7 hari wafatnya Mbah Fuad. Mari yang longgar hati dan waktunya, kita langitkan doa-doa. Memohonkan ampun bagi almarhum. Semoga terang kuburnya. Tenang ruhnya. Serta arum baunya, sampai tercium oleh penduduk sorga.
Yaaaa ayyatuhan-nafsul-muthma-innah. Irji’iii ilaa robbiki roodhiyatam mardhiyyah. Fadkhulii fii ‘ibaadii. Wadkulii jannatii.
Bi khusnil khotimah Mbah Fuad. Alfatihah.
Gemolong, 24 Januari 2023