Masyarakat Jepara Sinau Tiga Jenis Syukur
Jepara, 9 Oktober 2022

Seperti Sinau Bareng di Grobogan malam sebelumnya, Sinau Bareng di kampung Kauman Kecamatan Jepara Kabupaten Jepara (9/10/22) bertema sama yaitu Sinau Syukur. Pada kesempatan ini, Mbah Nun mengajak jamaah dan masyarakat Jepara menyelami lebih dalam perihal syukur kepada Allah sebagai kebutuhan dan keharusan manusia. Sebagai keberangkatan, Mbah Nun mengatakan semakin luas dan dalam pemahaman seseorang tentang sifat hidup, maka semakin luas dan dalam pula rasa syukurnya.
Dari sini Mbah Nun memperkenalkan tiga jenis syukur. Pertama, syukur Qudroti, adalah syukur kepada Allah atas segala sesuatu yang diberikan kepada manusia di mana manusia tidak ikut menciptakan segala sesuatu tersebut. Seperti udara, tanah, air, dilahirkan sebagai manusia, jenis kelamin, dll.
Kedua, syukur Ikhtirofi, adalah syukur kepada Allah karena manusia diberikan posisi sebagai makhluk kemungkinan. Dalam posisi ini manusia punya pilihan untuk melakukan tindakan-tindakan, misalnya dalam mengkonsep suatu pembangunan, namun posisi ini juga berkonsekuensi manusia bisa melakukan sesuatu yang bersifat syukur atau sebaliknya kufur atas nikmat anugerah dan fasilitas dari Allah. Posisi ini membedakan manusia dari makhluk-makhluk lain seperti tumbuhan, hewan, jin, dan malaikat, yang dalam bahasa Mbah Nun disebut sebagai makhluk kepastian, karena tidak diberikan amanat untuk melakukan pilihan-pilihan.
Kalau yang kita lakukan dengan posisi diberi “kebebasan” untuk memilih ini ternyata merupakan pilihan yang baik, maslahat, dan manfaat maka kita bersyukur. Tetapi bila yang kita lakukan adalah tindakan yang salah, berdosa, dan kufur nikmat, maka Allah masih memberi pintu taubat. Disediakannya pintu taubat oleh Allah bagi manusia ini adalah sesuatu yang patut disyukuri karena merupakan salah satu keuntungan yang diberikan kepada manusia oleh Allah.
Ketiga, syukur ikhtiyari, adalah rasa syukur dalam konteks pekerjaan, makaryo, atau ubat-ubet untuk penghidupan sehari-hari. Seorang pedagang yang dagangannya laris terjual dan mendapatkan keuntungan, dia bersyukur dan rasa syukur dia masuk dalam kategori syukur ikhtiyari, syukur yang berkaitan dengan rezeki Allah yang diberikan-Nya dalam merespons ikhtiyar sehari-hari hamba-Nya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.
Sinau bareng ini digelar di jalan Kampung RT 04 RT 05 Desa Kauman Jepara. Lokasinya hanya berjarak sekitar satu kilometer dari dermaga/pelabuhan Jepara dan Pantai Kartini. Jalan Kampung tempat Sinau Bareng ini dibatasi oleh dinding di mana di balik dinding itu adalah kawasan tambak-tambak ikan. Di antara profesi warga di sini adalah nelayan. Sebagian lain bekerja di bidang furniture. Yang hadir dalam Sinau Bareng tentu tidak saja dari Jepara, tetapi dari daerah-daerah sekitar.
Sempat hujan sejenak saat berlangsung tahlilan pra-acara, tetapi kemudian reda kembali. Usai tahlilan, anak-anak muda segera menempati depan panggung. Yang lain-lain mengambil tempat di sela jalan di kiri panggung, sebagian di depan-depan rumah. Semuanya, bapak-bapak, ibu-ibu, yang muda-muda, antusias mengikuti Sinau Bareng bersama Mbah Nun dan KiaiKanjeng ini. Formasi jamaah memanjang mengikuti jalan. Pada jarak beberapa puluh meter dari panggung disediakan layar untuk membantu jamaah bisa lebih dekat melihat suasana di panggung.
Tiga jenis syukur di atas, dielaborasi terus oleh Mbah Nun dengan memancing jamaah untuk berpikir serba terkait dan serba ingat kaitan dengan hal lain, dalam hal ini, rasa syukur berkaitan dengan kalimat thayyibah. Terlebih Alhamdulillah–ungkapan syukur–adalah salah satu dari kalimah thayyibah. Di situ, Mbah Nun bertanya mengapa dan kapan kita mengucapkan Alhamdulillah, dan juga kalimat-kalimat thayyibah lainnya. Jika Anda mendapatkan amanah memegang suatu jabatan, kalimat thayyibah apa yang akan Anda ucapkan? Alasan di balik setiap kalimah Thayyibah bisa beragam secara subjektif berdasarkan persepsi orang yang mengucapkan, dan itu ada kaitannya dengan bagaimana dia mempersepsikan tiga ranah tadi: Qudroti, Ikhtirofi, dan Ikhtiyari.
Sejauh ini, kita berpikir bahwa bersyukur adalah ketika kita mendapatkan sesuatu yang kita senang atau sesuatu itu sesuai keinginan kita. Dalam Sinau Bareng tadi malam, Mbah Nun meluaskan cakrawala mengenai syukur ini. Misalnya, apa yang kita sangka buruk, padahal itu boleh jadi baik bagi kita, dan sebaliknya apa yang kita anggap baik, mungkin malah kurang baik bagi kita. Jadi, kita dituntut untuk harus lebih presisi dalam menentukan misalnya sesuatu yang kurang enak dalam pandangan sesaat kita ini ternyata perlu disyukuri karena justru bernilai baik buat kita.
Orang Jawa kalau bersyukur punya logika tersendiri. Mengalami ban motornya bocor, dia bersyukur untung hanya satu ban yang bocor, tidak dua ban yang bocor. Orang Jawa atau orang Nusantara, menurut Mbah Nun, adalah masyarakat yang pandai bersyukur. Di desa-desa ada tradisi Ruwat Desa yang salah satu isinya adalah ungkapan syukur kepada Allah atas anugerah yang diterima masyarakat itu, baik berupa anugerah panen tanaman, suburnya tanah, atau kesejahteraan lain yang diterima. Sementara belum ada Ruwat Negara.
Penyelaman akan syukur selain melalui obrolan langsung Mbah Nun dengan jamaah, hadir melalui Dramatic Reading berjudul Syukur Aku Manusia dan dibawakan secara apik, segar, dan sarat ilmu oleh Pak Nevi Budianto (Mbah Geol), Pak Joko Kamto (Buyut Irodat), Mas Jijid (Satriyo Kunthung), Imam dan Doni (Thole). Di bagian akhir ada dialog yang menjelaskan empat jenis manusia dalam kaitannya dengan rasa syukur, yaitu manusia Kultural, manusia Radikal, manusia Timbangan, dan Manusia Jumbuh. Baca selengkapnya naskah Dramatic Reading ini di web CakNun.com. Manusia Jumbuh adalah manusia yang melihat, mengalami, atau menerima apapun, apalagi anugerah, cepat sekali bersyukurnya kepada Allah. Barangkali seperti itulah masyarakat Jawa atau Nusantara dengan tradisi-tradisi yang bergandengan rasa syukur kepada Allah seperti Ruwat Desa tadi.
Selain secara ilmu memperkenalkan tiga jenis syukur, menghadirkan Dramatic Reading yang juga bertema Sinau Syukur, malam itu jamaah juga diajak bershalawat, berdoa bersama, serta diajak memasuki semesta senang yang Allah juga senang melalui nomor-nomor musik yang dilantunkan oleh Mas Doni dan Mas Imam serta fragmen Mbah Geol. Shalawat dan qashidah dipersembahkan oleh Mbak Nia, Mbak Yuli, Mas Islamiyanto, dan Dik Faqih.
Didampingi Kompol Karman dari Polres Jepara dan Kapten Alex dari Dandim Kota Jepara selama acara, di penghujung acara Mbah Nun mendoakan agar negara melindungi Jepara dengan tidak membiarkan aset-aset Jepara lepas dikuasai oleh perusahaan asing, serta mudah-mudahan Jepara akan muncul menguat kejeparaannya menjadi salah satu mahkota bagi Indonesia, dan ini akan terjadi jika pemimpin Indonesia benar-benar paham akan rakyatnya.
Dari Sinau Bareng bertema seperti Sinau Syukur ini, kita merasakan bahwa dengan Sinau Bareng ini Mbah Nun melakukan pendidikan sangat spesifik untuk mendorong masyarakat untuk terus meningkatkan kecerdasan beragama di antaranya ditandai dengan cepatnya masyarakat atau hamba-hamba dalam menjalankan anjuran-Nya seperti bersyukur atas anugerah-Nya. Beryukur, bersama kondisi hati lain seperti tawakkal, roja’, taubat, taqwa, dll. bukanlah maqam atau kondisi hati yang otomatis ada. Ia perlu diperjuangkan dan dikondisikan. Melalui Sinau Bareng, Mbah Nun membantu kita mengkondisikan hati agar memiliki maqam-maqam yang baik di mata Allah, dan maqam-maqam itu kita butuhkan agar kehidupan kita baik adanya. []