LUNGLUNGAN

(Mukaddimah Majelis Ilmu Poci Maiyah Tegal, Jum'at 2 Desember 2022)

MENGGEMBALAKAN DIRI SENDIRI

Karena pada hakikatnya tidak seorang pun sanggup dan bisa menilai orang lain, maka kita sendirilah yang dalam hati dan batin kita masing-masing harus menjadi pengawas diri sendiri. 

Setiap pandangan dan sikap orang lain atas kita sangat membantu penglihatan diri itu. Dialektika horisontal dengan orang lain sangat menolong kita dalam memacu menggembalakan diri sendiri.

Mbah Nun 

Beberapa tahun silam, saat proses renovasi tahap pengecoran sebuah madrasah di salah satu kampung di Tegal, warga masyarakat sekitar dan juga para alumninya berbondong-bondong untuk turut membantu. Peng-estafetan semen cor yang dilakukan dari satu orang ke yang lainnya untuk dituangkan dari bawah ke bagian paling atas pada bangunan madrasah itulah yang masyarakat menyebutnya dengan “lung-lungan” / “ulung-ulungan”. Proses lunglungan itu mempunyai makna filosofis sendiri Jika digali lagi secara lebih mendalam. Semangat gotong royong antar sesama, bahu membahu dan bekerjasama untuk mencapai tujuan sukses bersama adalah nilai-nilai kebaikan yang ada di kegiatan lunglungan ini.

Lihat juga

Beberapa bulan terakhir Mbah Nun, dan jamaah Maiyah di berbagai simpul telah menggelar Tawashshulan. Tradisi memohon kepada Allah sudah berlangsung sejak lama khususnya di Nusantara ini. Sementara konsep memohonnya yang dijalani pun bermacam-macam bentuknya.

Para sesepuh mengajarkan kita tentang bagaimana kemudian dalam berdoa dan memohon kepada Allah atas tiap hajat agar juga mengawalinya dengan bacaan-bacaan tertentu yang diambil dari ayat-ayat suci Al-Qur’an, Shalawat, maupun dari wirid tertentu yang diajarkan oleh para ulama pendahulu dan juga menyebutkan nama-nama orang tertentu yang dianggap sebagai wali-wali Allah. Hal ini di maksudkan agar keberkahan dan juga limpahan-limpahan kebaikan lainnya juga Allah berikan kepada kita semua yang tengah berdoa.

Sementara Mbah Nun sendiri menegaskan mengapa kita perlu tawashshulan. Mbah Nun menyampaikan bahwa kita tawashshulan karena menyadari bahwa ada dalam hidup kita ini hal-hal yang kita tak mampu mengatasinya. Karena itu, tak ada jalan lain selain mengemis atau nyuwun paring-paring kepada Allah Swt. Itulah makna inti tawashshulan yang disampaikan oleh Mbah Nun.

Maka Jika ditarik dari kedua hal di atas, di antara hikmah yang bisa diambil adalah bagaimana kemudian kita bisa meyadari bahwa sekuat apapun kita, sealim apapun kita, dan sepandai apapun kita dalam memahami pengetahuan, pada akhirnya kita tetap saja memerlukan pihak lain sebagai perantara kita bisa berjalan dan menuju finish yang sejati, Allah Swt. Karena, biar bagaimanapun, ilmu dan pengalaman kita sangatlah terbatas. Jadi untuk bisa memahami ilmu Allah yang tak terbatas itulah, kita memerlukan bantuan orang lain untuk memperluas resolusi ilmu kita. Meskipun takkan mungkin bisa kita sampai pada titik itu.

Sebagaimana Allah mengajarkan kita tentang shalawat agar kita pun harus berterima kasih kepada Rasulullah, karena perantara beliau, kita bisa mengenal Allah dan juga apa-apa yang menjadi Perintah maupun larangan-larangan-Nya. Juga kepada Sahabat, dan juga para penerusnya hingga sampai sekarang.

Wallahu a’lam bisshowab. 

(Redaksi Poci Maiyah/Mustofa Ups) 

Lihat juga

Back to top button