KIRIM DOA DAN WARISAN ILMU SANG MARJA’
Jamanah Maiyah Gemolong Sragen yang pada tanggal 25 Januari lalu bertandang ke Menturo untuk tawashshulan 7 harinya Mbah Fuad, tadi malam (1/3) berkumpul seadanya untuk membaca Yasin dzikir tahlil dan mengirimkan doa untuk 40 harinya almarhum Mbah Fuad sekaligus 1000 harinya Syekh Nursamad Kamba.
Sedari siang Gemolong dan sekitarnya diguyur hujan. Bakda Isya, air langit reda sejenak. Seolah memberi kesempatan bagi saya, dan rekan lain menuju rumah yang sekaligus warung mie ayam milik Gus Jafar. Di sana sudah tersedia kopi panas, kretek, singkong goreng, dan jagung rebus. Kombinasi yang apik dari tuan rumah yang baik.
Pukul sembilan, doa tawashshulan dimulai. Di luar, gerimis turun liris. Suasana persis seperti saat kami ke Menturo sebulan lalu. Dingin tapi sejuk. Tenang. Dan khusyuk.
Usai dzikir-tahlil, berlanjut dengan obrolan santai. Sampai kemudian obrolan agak serius ketika menyinggung tentang satu hal yang dekat dengan kematian, yakni warisan. Apa warisan yang akan kita tinggalkan sebelum mati? Apa saja yang bisa diwariskan? Apa itu hukum waris? Siapa saja yang berhak menjadi ahli waris?
Pertanyaan demi pertanyaan tersebut mengalir begitu saja. Gus Jafar yang jebolan pesantren urun perspektif dari segi fikih (agama). Sedangkan Ibenk yang seorang lawyer membagikan pengalamannya perihal warisan dari kacamata hukum (tata negara). Saya yang awam cukup menyimak, dan sesekali merespons.
Dari ragam opini dan persepsi yang dishare, menguraikan betapa sesuatu yang bernama warisan itu sangatlah kompleks. Warisan sangat identik dengan harta kekayaan. Bisa berupa sawah, tanah pekarangan, rumah, bangunan, logam mulia, uang, dll. Warisan merupakan pemberian orang tua kepada anak-anaknya.
Karena warisan itu bernilai dan berharga, maka dibutuhkan kehati-hatian dalam mengaturnya (serta memutuskannya). Warisan rawan sengketa. Riskan polemik. Rentan pertikaian. Sudah banyak kita dengar dan saksikan di sekitar kita, gara-gara warisan ada saudara kandung yang dulunya akur lalu jadi musuhan. Ada juga saudara satu Mbah, gara-gara pembagian warisan yang dianggap tidak adil, timpang, berat sebelah, mengakibatkan hubungan persaudaraan antara mereka renggang, congkrah, bahkan bubrah.
Lalu bagaimana cara terbaik dalam menangani urusan warisan? Al-Quran dan hadist telah menjelaskannya secara detail. Di antaranya terdapat dalam surat Al-Baqarah ayat 180-182 dan surat An-Nisa ayat 11-12.
Seperti pepatah bilang, sedia payung sebelum hujan. Dalam membagi warisan, dalam hal ini orang tua sebaiknya membuat surat wasiat sewaktu dalam kondisi sehat wal ‘afiat. Bukan ketika uzur apalagi tengah sakit-sakitan. Inilah yang dimaksud “sedia payung sebelum hujan”. Ketika membuat wasiat dalam keadaan sehat, diharapkan keputusan yang diambil tepat, akurat, dan berimbang.
Jika surat wasiat telah jadi, seluruh anak kandung dikumpulkan. Kemudian orang tua membacakan surat wasiat tersebut di depan mereka semua. Syukur-syukur seluruh hadirin mencatat. Jangan lupa hadirkan minimal dua saksi. Bila perlu datangkan notaris sekalian. Setelah wasiat dibacakan, orang tua memberi kesempatan kepada semua anak untuk merespons, bertanya, usul, komplain atau hal lain-lain. Jika semua sudah oke dan sepakat dengan isi wasiat, dibuatkanlah “hitam di atas putih” untuk ditanda tangani semua ahli waris.
Itu semua ditempuh sebagai langkah antisipasi. Jaga-jaga. Atau waspada. Sebuah upaya untuk mencegah terjadinya perselisihan, perdebatan, atau pertengkaran antara satu pihak (saudara) dengan pihak lain.
Jarum jam menunjukkan pukul sebelas. Kopi di cangkir beling saya telah tandas. Pertemuan sama dengan Maiyahan. Ada silaturahmi, berbagi rezeki, bershalawat, bermunajat, tukar pikiran, dan menjimpit butiran ilmu dari jalannya diskusi.
Selain harta kekayaan, kiranya ada warisan yang lebih aman, tidak memicu konflik, dan (InsyaAllah) berumur panjang. Yaitu warisan ilmu. Dan Mbah Fuad serta Syekh Nursamad Kamba, sepanjang hayat telah mewariskan pundi-pundi ilmu (buku, metode belajar Al-Quran, ijazah, wirid-wirid, teladan hidup, dll) kepada kita semua. Semoga berguna, dan menjadi amal jariah beliau berdua yang mengalir terus—-tak putus-putus. Fa lahum ajrun ghoiru mamnuun (At-Tin: ayat 6)
Gemolong, 2 Maret 2023