Kalibrasi Syukur Bersama Kenduri Cinta
Majelis Ilmu Kenduri Cinta Jakarta, edisi Juli 2022
Apa yang terlintas saat kita mendengar kata “kalibrasi”? Sesuatu hal yang berhubungan dengan kalibrasi dan yang terdekat dari kehidupan kita saat ini adalah aplikasi Google Maps. Betapa hidup kita saat ini sangat dimudahkan dengan aplikasi tersebut. Kita tidak perlu lagi khawatir saat bepergian ke tempat yang baru kita kunjungi. Cukup dengan beberapa sentuhan saja di layar ponsel kita, seketika itu pula kita akan diarahkan ke tempat tujuan, lengkap dengan estimasi jarak tempuh perjalanannya.
Biasanya, saat baru pertama kali menggunakan aplikasi Maps tersebut, kita harus melakukan kalibrasi agar posisi kita akurat. Terkadang juga, jika sudah beberapa lama ponsel kita gunakan, proses kalibrasi juga diperlukan untuk proses akurasi kembali lokasi kita apakah sudah akurat atau belum.
Teman-teman Kenduri Cinta melihat bahwa ternyata bukan hanya akurasi Maps saja yang peru dikalibrasi, tetapi ada banyak hal yang ada di dalam kehidupan kita yang juga perlu dikalibrasi. Salah satunya adalah syukur.
Manusia sebagai salah satu makhluk kemungkinan memiliki berbagai hal dalam dirinya yang perlu selalu dikalibrasi. Salah satunya adalah tentang syukur. Siapa yang hidup ini tidak memiliki ekspektasi? Hampir dari kita semua memiliki ekspektasi dari setiap hal yang kita lakukan. Saat kita sekolah, kita memiliki ekspektasi bahwa kita bisa mencapai nilai yang bagus pada setiap ujian. Saat kita bekerja, kita memiliki ekspektasi bahwa hasil pekerjaan kita mampu membuat atasan kita bangga dengan hasil kerja kita. Saat kita berbisnis, kita memiliki ekspektasi agar kita bisa sukses dan berhasil mengumpulkan uang yang banyak. Ada banyak ekspektasi-ekspektasi dalam kehidupan kita.
Yang terkadang tidak kita sadari adalah bahwa ternyata, ketika ekspektasi itu tidak terwujud ada saja hal yang sewajarnya bahkan seharusnya kita syukuri. Ada hal-hal yang ternyata terjadi, di luar ekspektasi kita, tetapi kita luput untuk menghitungnya sebagai sesuatu yang memang pantas untuk kita syukuri. Teman-teman Kenduri Cinta mencoba mengangkat tema “Kalibrasi Syukur” ini dengan satu pijakan tersebut, seperti yang juga pernah disampaikan oleh Mbah Nun agar kita terus mampu menemukan alasan untuk selalu bersyukur.
Awalnya, Kenduri Cinta edisi Juli 2022 ini akan diselenggarakan pada 15 Juli 2022 dengan lokasi Kampus Universitas Muhammadiyah Jakarta, namun belum memungkinkan karena UMJ sedang ada kegiatan proses penerimaan mahasiswa baru. Maka, penggiat Kenduri Cinta pun memutuskan untuk mengurungkan Maiyahan di bulan Juli ini. Hingga akhirnya, penggiat Kenduri Cinta dihubungi oleh TGUPP DKI Jakarta menanyakan mengenai kemungkinan diselenggarakannya kembali forum Kenduri Cinta di Taman Ismail Marzuki, Cikini, Jakarta.
Dunia tahun terakhir, Taman Ismail Marzuki menjalani proses revitalisasinya di bawah arahan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dengan PT Jakarta Propertindo sebagai eksekutornya dan didampingi oleh pihak Dinas Kebudayaan DKI Jakarta yang diwakili oleh pihak UP PKJ Taman Ismail Marzuki. Proses revitalisasi tersebut sudah hampir rampung, sehingga TGUPP DKI Jakarta memiliki agenda untuk mengaktivasi kembali Taman Ismail Marzuki.
Kenduri Cinta yang memang sejak awal kelahirannya berada di Taman Ismail Marzuki, dipandang oleh TGUPP DKI Jakarta untuk perlu mengambil peran dalam proses aktivasi kembali Taman Ismail Marzuki ini. Hingga akhirnya, dalam waktu koordinasi yang singkat, Kenduri Cinta edisi Juli 2022 diumumkan akan diselenggarakan pada 22 Juli 2022 di Taman Ismail Marzuki.
Begitulah. Apakah ini jawaban semesta bahwa ternyata dengan bersyukur ternyata ada kebahagiaan yang akhirnya bisa dirasakan bersama? Silakan dijawab masing-masing. Yang pasti, kita semua Jamaah Maiyah di Jakarta khususnya, bergembira dan berbahagia dengan momen kembalinya Kenduri Cinta di Taman Ismail Marzuki ini.
Dan memang benar adanya. Atmosfer Maiyahan Kenduri Cinta di Taman Ismail Marzuki terasa berbeda jika dibandingkan bulan-bulan sebelumnya saat Kenduri Cinta harus terlaksana di tempat lain. Ada suasana yang berbeda, ada rasa yang memang hanya terasa saat Kenduri Cinta diselenggarakan di Taman Ismail Marzuki. Bahkan, sejak sore hari saat penggiat Kenduri Cinta mempersiapkan hal-hal teknis di lapangan.
Begitu juga saat forum bermula. Sejak sesi Mukadimah, aura Kenduri Cinta yang dulu kembali terasa. Kembali diselenggarakan di hari Jum’at, meskipun belum di pekan kedua, tetapi nyatanya memang terasa berbeda nuansanya. Proses aktivasi kembali Kenduri Cinta pun sepertinya baru tercipta pada gelaran Maiyahan di Jakarta kali ini.
Raut wajah bahagia yang tampak dari setiap jamaah yang hadir malam itu seolah menjadi bukti sahih bahwa memang Kenduri Cinta di Taman Ismail Marzuki adalah forum yang kita kangeni bersama. Guliran diskusi di sesi awal yang ringan pun menjadi pantikan forum malam itu dengan suasana yang serius namun tetap menggembirakan. Beberapa jamaah yang dimintai respons tentang tema Kenduri Cinta malam itu mengungkapkan hal-hal yang memang relate dengan keseharian mereka dan tema malam itu.
Wanda misalnya, salah satu jamaah Kenduri Cinta asal Sukabumi yang saat ini tinggal di Tangerang Selatan, saat pandemi kemarin, ia terkena dampak PHK di tempat kerjanya. Keputusan harus ia ambil, sempat pulang kampung, hingga akhirnya memutuskan kembali ke Jakarta dan kini berjualan Es Kelapa Muda. Bekal dari Mbah Nun yang selalu ia pegang adalah; “Dalam keadaan apapun, selalu ingat Allah, Allah, Allah”. Ia mensyukuri perjalanan hidupnya saat ini, dari yang hanya ulusan SMA, untuk mencari kerja saja susah, namun sekarang ia bisa kuliah di sebuah perguruan tinggi di jurusan Teknik Informatika dengan biaya sendiri hasil dari berjualan Es Kelapa Muda.
Lain lagi dengan Fifi, salah satu jamaah yang mengungkapkan bahwa salah satu kegembiraan yang ia rasakan saat datang ke Kenduri Cinta adalah rasa bahagia bisa berkumpul dengan teman-teman yang baru, dengan orang-orang yang punya tujuan yang sama; mencari ilmu. Fifi mengungkapkan, bahkan mungkin yang juga dirasakan oleh banyak orang yang datang ke Kenduri Cinta bahwa salah satu tujuan datang ke Maiyahan ini adalah karena ingin bertemu secara langsung dengan Mbah Nun. Namun, meskipun akhirnya Mbah Nun tidak hadir, ia merasa sama sekali tidak berkurang kegembiraannya saat datang di Maiyahan. Bahkan malam itu, ia baru saja datang dari kampung halamannya, belum sempat kembali ke rumah tinggalnya di Jakarta, langsung menuju Taman Ismail Marzuki.
Ungkapan-ungkapan kebahagiaan itu kemudian direspons oleh penggiat Kenduri Cinta yang membuka sesi Mukadimah malam itu. Adi Pudjo menegaskan bahwa kembalinya Kenduri Cinta ke Taman Ismail Marzuki adalah salah satu rezeki kita bersama. Dan ini harus kita syukuri juga bersama-sama. Ada proses di belakang layar yang tidak terlihat, yang sudah dilakukan oleh penggiat Kenduri Cinta untuk mengembalikan kembali forum Maiyahan ini di Taman Ismail Marzuki, dan alhamdulillah usaha tersebut berhasil terwujud.
“Kalibrasi itu artinya mengukur”, lanjut Adi Pudjo. “Bersyukur itu apakah tanpa batas? Jika ada batasnya, dimana? Apakah manusia setelah meninggal dunia tidak dapat bersyukur?”, lontaran-lontaran pertanyaan pemantik diskusi sesi Mukadimah mewarnai sesi pembuka malam itu. Dan faktanya, teman-teman Jamaah malam itu pun mengungkapkan kesyukurannya, meskipun 2 tahun kemarin melewati masa pandemic yang tidak mudah, toh akhirnya kita semua mampu melewatinya dan mampu bertahan hingga hari ini.
Suasana gembira malam itu di Kenduri Cinta semakin lengkap dengan penampilan Musisi Jalanan Center dan juga Lahila Band yang membawakan beberapa nomor karya Ismail Marzuki. Memang secara khusus nomor-nomor karya Ismail Marzuki itu diminta oleh penggiat Kenduri Cinta untuk dimainkan oleh mereka.
Malam itu, Mas Sabrang dan Habib Ja’far turut bergabung mewarnai diskusi Kenduri Cinta. Habib Ja’far mengawali paparannya dengan menjelaskan bahwa antonim (lawan kata) dari syukur di dalam Al Qur`an itu adalah kufur. Kata kufur ini juga memiliki akar dari kata yang sama dengan kata kafir. “Kafir itu artinya menutup diri. Ketika Anda diberi nikmat, lalu Anda menutup diri bahwa seolah-olah nikmat itu adalah hasil cipta karya diri Anda sendiri, tidak mengakui bahwa itu hasil cipta karya Gusti Allah, maka Anda telah melakukan tindakan kekafiran,” ungkap Habib Ja’far.
Ia menambahkan bahwa prinsip syukur adalah tidak pernah berupaya untuk menambah standar kuantitas dari sesuatu yang sudah ia syukuri sebelumnya. Misalnya, saat kita bersyukur bisa menikmati segelas teh manis, maka jangan kemudian kita berandai-andai agar bisa menikmati minuman yang lebih mahal. Saat ada segelas teh manis, ya sudah cukup kita mensyukuri saja apa yang ada di hadapan kita saat ini. Karena menurut Habib Ja’far, syukur itu bukan sebuah tindakan pasif, melainkan sebuah tindakan aktif. Dan tindakan aktifnya itu bukan sekadar ucapan saja, tetapi juga komitmen untuk mengimplementasikan kata “Alhamdulillah” yang sudah kita ucapkan.
Mas Sabrang kemudian menyambung apa yang disampaikan oleh Habib Ja’far. Bahwa manusia dalam merespons sebuah peristiwa ada 4 tahap; Sabar, Berprasangka baik, Syukur dan Ikhlas. “Kadang-kadang, hati kita untuk bersyukur membutuhkan alasan dari akal. Sementara akal memiliki seribu cara untuk memaknai sesuatu. Maka, kebebasanmu adalah menginterpretasikan kejadian bahwa sebuah kejadian yang dialami adalah sesuatu hal yang pantas untuk disyukuri”, lanjut Mas Sabrang.
“Sederhananya, kamu tidak bisa mengendalikan kejadian yang akan terjadi kepadami. Tapi kamu bisa mengendalikan apa respons yang muncul dari dalam dirimu terhadap kejadian yang kamu alami. Jadi, bagian dari kemampuan bersyukur adalah kemampuan kreativitas untuk memaknai sebuah kejadian,” ungkap Mas Sabrang.
Dilanjutkan oleh Mas Sabrang, “Semua kejadian yang kamu alami itu mengandung ilmu. Kalau sudah mampu melihat ilmu pada setiap kejadian, kamu punya alasan universal untuk bersyukur terhadapa apapun.” Mas Sabrang mencontohkan bahwa setiap manusia memiliki ingatan yang tidak akan hilang dari memori di otak, meskipun momen terjadinya sudah sangat lama. Mas Sabrang menjelaskan bahwa jika ada sesuatu kenangan yang masih belum hilang dari ingatan kita tandanya ada ilmu dari kejadian tersebut yang belum sempat kita hikmahi. “Kalau kamu sudah bisa mengambil ilmu dari sebuah kejadian, pasti memori itu akan hilang dengan cepat. Tetapi, jika kejadian itu tidak menjadi ilmu, maka akan nempel terus. Artinya, kejadian itu belum termanifestasi menjadi ilmu. Padahal, semua kejadian adalah pintu ilmu. Kalau kita sudah mampu berkonsentrasi pada ilmu, hidup kita tidak akan rugi,” lanjut Mas Sabrang.
Begitu juga dalam hidup, kita mengalami kegagalan dan keberhasilan. Mas Sabrang menyampaikan bahwa jangan sampai kita terjebak pada kegagalan yang kita alami. “Kegagalan itu bukan kesuksesan yang tertunda, tetapi kegagalan adalah keberhasilan yang tidak terjadi. Dan keberhasilan yang tidak terjadi itu bukan sesuatu yang hina. Mungkin kamu kecewa, tapi bukan hina, karena kegagalan itu juga bisa menjadi pintu ilmu bagi kita untuk menuju keberhasilan,” anjut Mas Sabrang.
“Dari mana datangnya keberhasilan? Ia datang dari keputusan yang benar. Keputusan yang benar dari mana asalnya? Ia datang dari pengalaman. Pengalaman dari mana datangnya? Ia hadir dari keputusan yang salah. Saat kamu mengalami akibat dari keputusan yang salah, segera cari hikmahnya, sehingga kamu memiliki pengalaman. Karena dengan pengalaman itu tadi, kamu akan mengambil keputusan yang benar untuk kemudian menjadi sukses. Jadi, gagal sebanyak mungkin itu tidak apa-apa. Kamu boleh gagal seribu kali, dan kamu hanya membutuhkan satu keberhasilan untuk menjawab seribu kegagalan itu,” pungkas Mas Sabrang.