KABAR DARI MAIYAH RELEGI MALANG

15 November 2022, tepatnya malam Rabu Legi, Simpul Maiyah Malang Relegi menggelar diskusi rutin bulanan dengan tajuk “Santri Agent of Change, Why Not?”.

Kali ini diskusi dibersamai dan dipantik oleh beberapa aktivis santri di Malang Raya, dan juga mengundang beberapa perwakilan santri dari beberapa organisasi keislaman, santri pondok pesantren Salaf, santri pondok pesantren modern, santri pondok pesantren mahasiswa, hingga alumni. Diskusi dipantik dengan kegelisahan terhadap peran santri di masa sekarang yang serba semrawut, yang juga ada kecurigaan terhadap beberapa kepentingan yang memungkinkan untuk mengerucutkan, menyudutkan atau mempersempit fungsi santri yang mengakibatkan sikap pesimisme dalam menanggapi atau merespons kejadian saat ini. Mengingat bahwa dulu salah satu motor penggerak perlawanan revolusi adalah kalangan santri dari inisiasi mereka tanpa adanya tekanan dari siapapun, tetapi dengan kesadaran penuh untuk menuju kemerdekaan dari ketertindasan. 

Di awal Cak Dil sebagai pemantik membuka dengan pernyataan bahwa Pangeran Diponegoro dalam latar belakang perjuangan perlawanan bukan sebagai anak putra mahkota, atau pemimpin, tetapi membawa semangat sebagai santri di mana cara penghimpunan massa pergerakannya dengan blusukan dari pesantren ke pesantren lain, dan juga sowan kepada kyai pemimpin pondok pesantren. 

Lihat juga

Adanya kebersamaan diperlukan oleh seluruh santri, bukan malah terlena dengan adanya penetapan Hari Santri yang hanya menghasilkan sebatas seremonial, tetapi dalam aktualisasi masih kurang, dan masih sangat jauh dalam kategori pergerakan terstruktur. Dengan kemajuan teknologi yang melesat, juga membuat gagap para santri, padahal santri sebenarnya tidak boleh menghindar dari kemajuan fasilitas dunia. Seharusnya santri yang bisa mengontrol dari kerusuhan dunia, karena memang didesain dengan segala tirakat, aturan, gemblengan bahkan kajian yang merupakan keahlian ataupun keunggulan dari santri daripada masyarakat yang tidak pernah menyentuh pendidikan keagamaan. Karena dirasa memang santri yang mampu untuk tidak mudah terperangah, kagum, kaget ataupun shock culture terhadap perubahan peradaban.

Dari diskusi, harapannya adalah rasa saling merangkul dan berbaur untuk mengentaskan problematika yang banyak kemungkinan bisa diselesaikan dengan dimensi keagamaan secara ilmu dan kemartabatan. Namun beberapa oknum santri yang gagal–nakal–, dan asumsi bahwa santri hanya bisa menjadi pengajar yang selalu menjadi eksposur utama oleh masyarakat, sehingga ada ketakutan masyarakat untuk mendidik anak mereka pada pesantren dan santri menjadi skeptis pada diri, serta krisis kepercayaan diri. 

Terlepas dari itu, perlu adanya pendalaman dan verifikasi terkait stigma tersebut, karena memang setiap hal ada kelebihan dan kekurangan, namun perlu digarisbawahi adanya beberapa faktor keilmuan tidak hanya diperoleh dengan cara konvensional (sekolah, belajar), ada beberapa juga metode pengalaman dan juga berkah–doa dari guru–bisa menjadi pertimbangan. Dan untuk mencapai kemanfaatan diperlukan niat yang kuat selain usaha yang maksimal dalam proses belajar. Semoga untuk ke depan santri mampu menjadi pilar-pilar kemaslahatan dalam mengentaskan problematika yang dimulai dari lingkungan sekitar, keluarga ataupun diri sendiri sebagai cerminan keilmuan yang mungkin akan dipandang oleh khalayak dan bisa menjadi pertimbangan kaum Santri dalam perubahan peradaban yang lebih baik. (Ghufron/Redaksi Relegi) 

Lihat juga

Back to top button