JANGKEP

(Mukaddimah Majelis Ilmu Maiyah Galuh Kinasih Bumiayu Jawa Tengah edisi Maret 2023)

Alhamdulillah nims, kata yang selalu terucap pertama kali setiap kali kita mau melingkar dan bersilaturahmi dengan anims semua. Perjalanan kami dalam merumuskan tema bulanan untuk melingkar di bulan Maret, kami mulai dengan beranjangsana ke Griya Agung Ustadz Luqman, di emperan luas ditengahi Gazebo tertata oleh pahatan dan ukiran Jati berasal dari kota Jati, Blora. Ustadz Luqman bersama kedua anaknya usia TK-MI yang sangat aktif, seolah untuk ingin ikut bersua, berinteraksi dengan kita. Mungkin menurut mereka siapakah kita, kok asing namun ngobrol dengan ayahnya begitu hangat.

Obrolan kami mulai dengan perkembangan kondisi lingkungan di Nusantara yang sedang tidak baik-baik saja yakni banyaknya bencana banjir dan tanah longsor. Pikiran kami terbawa dan teringat pada statemen pejabat eselon di pusaran kekuasaan di era pandemi Covid-19 melalui saluran televisi yang menyampaikan bahwa setelah pandemi masih akan ada bencana berupa perubahan ilkim dan musim yang akan melanda Nusantara. Sontak kami berpikir bahwa loh kok bencana berupa perubahan iklim bisa diprediksi. Iklim, musim, cuaca kan urusannya Tuhan dan Malaikat, kok Manusia bisa memprediksi? Pikiran kami langsung bilang ini kan mencoba melebihi kekuasaan Tuhan. Namun, sedulur yang lain menanggapi apakah benar ada para elit global andil dalam semua itu. Wallahua’lam bishshawab, yang kita patut yakini adalah seandainya ulah elite global merancang dan men-create bencana itu benar, maka hemat kami semua ada kehendak Tuhan atas ulah mereka.

Banjir dan tanah longsor yang terjadi di Nusantara tak jarang berurusan dengan ekosistem. Ekosistem adalah satu kesatuan utuh yang berisi unsur biotic dan abiotic, namun kita yang terbiasa dengan landasan segitiga cinta kasih yang ada di Maiyah, berpendapat bahwa ekosistem selain biotic dan abiotic juga ada andil Tuhan dan Kanjeng Nabi Muhammad, dan kebanyakan dari kita lupa akan formulasi ini. Oleh kacamata positivistic, bencana hanya dihitung secara hitung-hitungan material atau ekonomi. Kita tak ingat bahwa apa dan ada makna apa atas kuasa Maha yang Paling Maha yakni Tuhan pencipta semua semesta mendatangkan bencana, atau bisa jadi itu bukan bencana namun penyeimbang dalam ekosistem makhluk manusia yang lupa tak mengikutkan andil Tuhan dalam segala aktivitasnya.

Berangkat dari keresahan dan pergumulan pikiran kami (pejalan-pejalan sunyi) tentang ekosistem jadilah tema sinau bareng untuk bulan Maret, namun kemudian kami terbersit kembali bahwa apakah ada bahasa lain atau bahasa daerah yang bisa merepresentasikan ekosistem dan pemaknaan yang lebih integral dan meluas. Salah seorang dari kami menemukan bahwa ekosistem adalah sebuah satu kesatuan utuh. Dalam bahasa Jawa, kata yang bisa mewakili itu yakni kata Jangkep.

Ustadz Luqman kemudian menanyakan kepada kami secara tekstual arti detail kata Jangkep. Kami mencari beberapa referensi yang mampu membantu kami atas pertanyaan itu. Kami temukan beberapa, misalnya, kalau orang Jawa masak menggunakan Bumbu Jangkep. Di dalam perayaan pernikahan ada ritual yang jangkep, jamu pun mesti jangkep, urip juga kudu jangkep, kemudian banyak lainnya. Nah, untuk lebih mendalam mengetahui hakikat Jangkep, kami jadikan Jangkep sebagai tema sinau bareng LMB bulan Maret.

Lihat juga

Tentunya pemaknaan dan aksiologi dari Jangkep akan lebih berwarna jika didapatkan dari banyak pejalan-pejalan sunyi Maiyah, karena dengan kita melingkar sinau bareng, meminjam terminology Gus Sabrang akan ditemukan berbagai sudut pandang, arah pandang, jarak pandang maupun tempo pandang tentang Jangkep itu sendiri. Demikian pengantar dari kami. Semoga kita selalu bersama Tuhan dan Kanjeng Nabi, tentunya dengan kerendahan hati bahwa kita merupakan mahluk Tuhan yang tidak mempunyai daya dan upaya apapun, kecuali Tuhan berkehendak. Amin ya robbal alamin.

(Redaksi Galuh Kinasih)

Lihat juga

Back to top button