JAGRATARA, KEWASPADAAN UNTUK MENJAGA KEWARASAN KITA BERSAMA

(Liputan Majelis Ilmu Kenduri Cinta Jakarta, 16 Desember 2022)

Hidup yang baik adalah hidup yang senantiasa waspada. Kita semestinya terus waspada terhadap apa saja. Waspada seumpama garis batas, agar kita tidak keluar dari batasan yang sudah digariskan. Sebab, keterbatasan adalah cara Allah menjaga hidup kita. Kenduri Cinta edisi penutup di tahun 2022 ini mengangkat tema JAGRATARA. Sebagai bekal bagi kita untuk saling waspada dan bersyukur, supaya kita sadar batas diri kita masing-masing.

Sejak siang hari Jakarta diguyur hujan. Menjelang maghrib, awan mendung masih menggelayuti langit Jakarta. Namun tidak menyurutkan penggiat Kenduri Cinta untuk kembali menggelar tikar dan menata persiapan-persiapan yang semestinya tetap dilakukan di Plaza Teater Besar, Taman Ismail Marzuki, Cikini. Jagratara menjadi bahasan utama yang diperbincangkan. Tentu, tidak terbatas pada itu saja, obrolan mengalir dari hal-hal remeh temeh hingga hal-hal besar menyangkut persoalan bangsa mutakhir ini.

Fajar misalnya, salah satu jamaah Kenduri Cinta yang hadir malam itu pun ikut berpendapat. Fajar memandang, eling lan waspodo adalah refleksi dari kehidupan kita sehari-hari yang pernah kita lakukan dan dapat digunakan untuk masa depan. Sehingga, dalam menjalankan kehidupan kita sudah punya arah untuk menjalani hidup.

“Waspada adalah cara kita berjaga-jaga untuk hal-hal yang belum terjadi dan belum kita ketahui,” ujar Fajar.

Ada kecenderungan besar megatrend (pola perubahan berskala besar dan tahan lama) pada kehidupan manusia, baik yang sudah terjadi maupun yang akan terjadi dan perlu kita waspadai. Kita harus berhati-hati, megatrend mengancam kehidupan generasi selanjutnya, mungkin pada anak cucu kita. Pada diskusi sesi utama, Ali Hasbullah menyampaikan garis besar dari 5 megatrend 2022 ini.

Pertama, perubahan iklim yang dipicu semakin memanasnya bumi. Ditambah, kenaikan permukaan laut. Wilayah Jakarta misalnya, diperkirakan bakal tenggelam di tahun 2030 mendatang. Dari perubahan iklim yang terjadi, menjadikan kita selalu waspada untuk menjaga lingkungan dan ruang hidup kita. Karena perubahan iklim tidak hanya berpengaruh pada tata letak geografis saja, tetapi juga berpengaruh pada pengelolaan sumber daya alam, distribusi pangan, air dan lain sebagainya yang menjadi kebutuhan dasar manusia. 

Kedua, perkembangan teknologi yang akan semakin mempengaruhi kehidupan kita. Mulai dari big data hingga kecerdasan buatan (AI), semakin dekat dengan kehidupan kita sehari-hari. Apakah akan semakin mempermudah atau justru akan menambah masalah baru bagi kita?

Ketiga, pergeseran demografi atau pertumbuhan penduduk. Di mana, beberapa negara sudah mengalami krisis pertumbuhan penduduk. Kemauan warga untuk menikah menurun, sehingga angka kelahiran pun ikut menurun. 

Keempat, arus urbanisasi yang akan semakin meningkat. Masyarakat di desa lebih memilih tinggal di kota. Dan arus urbanisasi ini meningkat tajam dalam beberapa tahun ini. 

Kelima, pergeseran kekuatan ekonomi dunia yang saat ini kita melihat bagaimana China begitu digdaya dalam hal ini. Sementara Amerika tampak tidak ikut bermain, karena mungkin bagi mereka beberapa sektor yang mereka kuasai masih dalam genggaman mereka.

“Maiyah itu lahir karena adanya kewaspadaan. Di Maiyah, titik beratnya adalah Puasa. Dan Puasa adalah salah satu ilmu tentang waspada, karena mengajarkan kita tentang keterbatasan”, Mbah Nun mengawali paparannya malam itu. Ditambahkan oleh Mbah Nun, ada banyak batas-batas yang harus kita syukuri. Pandangan kita yang terbatas, pendengaran kita yang terbatas, pertumbuhan tubuh dan organ kita yang juga terbatas. Seandainya semua itu tidak dibatasi oleh Allah, betapa pusingnya hidup kita untuk mengurusi itu semua.

Salah satu penyebab perpecahan yang terjadi di dunia ini adalah karena manusia tidak memahami kehidupan sepenuhnya. Manusia tidak pernah serius bertanya kepada yang membikin kehidupan. “Sehingga, kita terus salah paham dan terpecah belah di berbagai bidang baik makro maupun mikro,” tutur Mbah Nun.

Untuk itu, Mbah Nun mewaspadai kita semua dengan mewanti-wanti bahwa, bangsa Indonesia akan menghadapi kesulitan yang belum pernah dialami sebelumnya. Kita mesti waspada, waspada manusia kepada Allah, waspada terhadap semuanya. “Dan waspada yang paling utama adalah waspada kepada Allah dan kehendak-Nya”, ungkap Mbah Nun.

Mbah Nun lalu mentadabburi Surat Ali Imron ayat 103, bahwa dalam ayat tersebut terdapat kalimat walaa tafarroquu, yang selama ini dipahami dengan pemahaman; jangan terpecah belah, jangan bercerai berai. Mbah Nun memilih untuk mentadabburi makna dari wala tafarroquu sebagai perintah Allah untuk tidak membuat kelompok-kelompok, tidak membuat firqoh-firqoh. Karena memang terbukti dengan adanya kelompok-kelompok, itu yang membuat manusia tidak waspada atas dirinya sendiri.

Mbah Nun lalu menegaskan kembali tentang kenapa Maiyah tidak menjadi padatan-padatan seperti organisasi masyarakat pada umumnya, misalnya. Karena bagi Mbah Nun, Maiyah adalah kesadaran dalam diri kita masing-masing, Maiyah adalah cara berfikir, Maiyah adalah sistem nilai untuk pengelolaan batin, bukan untuk menjadi padatan. Dengan risiko Maiyah tidak bisa dipahami oleh dunia mainstream. Orang mungkin hanya akan melihat Maiyah sebagai forum pengajian ummat Islam karena selalu ada sholawatan, selalu ada ayat-ayat Al Qur`an yang dibaca. Tetapi pada faktanya, Maiyahan seperti Kenduri Cinta ini adalah forum yang sangat universal, karena bagi Mbah Nun apa yang dibawa di Maiyah adalah semangat kebersamaan yang dulu ditanamkan oleh Nabi Muhammad SAW saat berdakwah dengan semangat egaliter dan kebersamaan, tanpa pandang bulu, tanpa melihat suku, ras dan agama.

Di Kenduri Cinta edisi Desember ini, Mbah Nun meminta jamaah untuk workshop, dengan bekal 4 poin untuk didiskusikan:

  1. Anda mengenal ada SYARIAT, HAQIQAT, THARIQAT dah MAKRIFAT. Andaikan Anda memahaminya sebagai SKALA PRIORITAS atau TERMINOLOGI atau MANAJEMEN PENGELOLAAN, bagaimana Anda menyusunnya?
  2. Sepengetahuan dan sepengalaman Anda, apakah Maiyah itu MIMBAR BEBAS, FORUM RAKYAT,  MADZHAB TAFSIR, ALIRAN PEMIKIRAN, IDEOLOGI, GERAKAN POLITIK, KELOMPOK SOSIAL, GERAKAN KEBUDAYAAN atau GERAKAN PERADABAN atau kategori lainnya?
  3. Kenapa Maiyah menjaga diri untuk tidak menjadi GOLONGAN, FIRQAH, KELOMPOK IDENTITAS, GENG, BOLO, ORMAS, PARPOL serta PADATAN apapun?
  4. Yang mana yang Anda pilih di antara beberapa pola berpikir berikut : 1- MODAL DUNIA UNTUK MENCAPAI SUKSÈS AKHERAT. 2- MODAL AKHERAT UNTUK MENGGAPAI SUKSÈS DUNIA. 3- MODAL AKHERAT UNTUK MENCAPAI SUKSES DUNIA AKHIRAT.

Dari 4 poin tersebut, 3 kelompok masing-masing berdiskusi dan kemudian salah satu dari mereka menyampaikan hasil diskusinya dengan hasil paparan yang sudah pasti tidak sama antara satu dengan yang lainnya. Dan begitulah asyiknya di Maiyah, tidak ada keharusan untuk seragam, karena pasti setiap kepala memiliki pendapat yang berbeda-beda. Dan Mbah Nun pun setelah mendengar paparan dari masing-masing kelompok juga mengapresiasi perbedaan itu.

Mbah Nun pun mengungkapkan rasa bangganya terhadap jamaah Kenduri Cinta yang semakin dewasa dalam memahami banyak hal. Mbah Nun meyakini bahwa Maiyah ini adalah sebuah kebun yang kita semai bersama dengan nilai-nilai kebaikan. Dan kita semua meyakini bahwa pada saatnya nanti kebun Maiyah ini akan berbuah. Tinggal kapan momentum berbuahnya itu dan dalam bentuk apa berbuahnya, kita menyerahkan sepenuhnya kepada Allah Swt.

Di akhir, Mbah Nun berpesan bahwa saat kita berdo’a meminta rezeki kepada Allah, maka siapkan pula kelengkapan dalam diri kita untuk mengelola rezeki itu. “Setiap rezeki itu ada amanatnya, dan setiap amanat itu ada rezekinya”, pungkas Mbah Nun.

Lihat juga

Lihat juga
Close
Back to top button