JAGAT HIKMAH
(Mukaddimah Pengajian Padhangmbulan di Mentoro Sumbobito Jombang, Selasa, 7 Maret 2023)

Kita tentu hapal bacaan surat An-Nahl ayat 125: “Serulah (manusia) ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik serta debatlah mereka dengan cara yang lebih baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang paling tahu siapa yang tersesat dari jalan-Nya. Dia (pula) yang paling tahu siapa yang mendapat petunjuk.”
Ayat tersebut menganjurkan metode hikmah, nasihat atau pelajaran yang baik, serta berdialoglah (walaupun sering diterjemahkan berdebatlah) dengan cara yang lebih baik untuk menyeru ke jalan Tuhanmu (sabiili rabbika).
Kita mencermati kata “sabiil” dan “rabb”, lalu mengajukan beberapa pertanyaan, di antaranya mengapa Allah menggunakan kata “sabiil” tidak “shirath” atau “thariiq”? Tiga kata ini kerap diterjemahkan “jalan”. Kemudian kata “rabb”, mengapa tidak “ilaah”, “maalik” atau “Allah”? Ada apa di balik penggunaan kata tersebut dan tidak menggunakan kata lain yang memiliki “sinonim”?
Anggap saja pertanyaan-pertanyaan itu semacam “pemanasan” sebelum kita hadir di Pengajian Padhangmbulan pada Selasa, 7 Maret 2023 di Mentoro Sumobito Jombang. Kita melakukan tadabbur sesuai pengalaman hidup masing-masing.
Pemanasan selanjutnya adalah mengapa menyeru ke “jalan Tuhan” yang menggunakan metode “hikmah” (bil hikmah) diletakkan pada level pertama? Sedangkan metode pengajaran atau nasihat yang baik (al-mau’idhoh al-hasanah) dan saling berdialog dengan cara yang lebih baik ditempatkan pada level kedua dan ketiga?
Hanya Tahu Satu Persen
Hikmah tersusun dari huruf haa – kaaf – miim; membentuk makna “menghalangi”. Tiga huruf ini menghasilkan derivasi kata “hikmah”, “ha-ka-ma” dan “hakiim”. Al-hakamah adalah tali kendali yang dipasang pada hewan agar ia tidak liar berjalan. Serupa dengan makna dasar “tali kendali”, hikmah adalah sesuatu yang apabila digunakan akan menghalangi datangnya kemudaratan, kerugian, atau kesulitan.
Bentuk kata benda “hakamaa” digunakan pada surat Al-An’am ayat 114: “Maka, apakah (pantas) aku mencari selain Allah sebagai hakamaa (pemberi putusan), padahal Dialah yang menurunkan Kitab (Al-Qur’an) kepadamu (dengan penjelasan) secara terperinci? Orang-orang yang telah Kami anugerahi Kitab Suci mengetahui (bahwa) sesungguhnya (Al-Qur’an) itu diturunkan dari Tuhanmu dengan benar. Maka, janganlah sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu.”
Pada ayat di atas hakamaa dapat diartikan “pemberi putusan”. Artinya, Allah yang menurunkan Al-Kitab adalah Al-Hakim: pemberi putusan—bukan hanya putusan tentang hukum legal formal kewajiban ibadah—melainkan juga pembuat ketetapan atas hukum-hukum yang berlaku (qadla’) di alam semesta. Kita mengenal hukum yang bekerja di alam semesta dengan istilah sunnatullah.
Hukum alam semesta (sunnatullah) lantas berjalan menurut takaran atau ukuran yang juga telah ditetapkan oleh-Nya (qadar). Takaran atau ukurannya pasti presisi, tepat, akurat sehingga apa pun jenis, ragam, dan dimensi ciptaan-Nya berada dalam “tali kendali” tata kosmos keseimbangan.
Presisi, akurasi, dan ketepatan dalam menentukan takaran dan ukuran juga disandang oleh sifat Al-Hakim—yang sekaligus Pemilik Saham Utama seluruh realitas hikmah pada semua dimensi alam semesta.
Selain itu, Al-Hakim juga membuahkan “nilai etika” berupa sikap bijaksana. Akurasi dan ketepatan menetapkan ukuran atau takaran menjadikan kehidupan ini berada dalam pengayoman kebijaksanaan Allah. Pada konteks ini Al-Hakim adalah Allah Yang Maha Bijaksana.
Kita bisa membayangkan—itu pun kalau mampu—betapa sangat-sangat luas jagat hikmah terbentang depan kita. Yang kita mengetahuinya mungkin tidak lebih dari satu persen; selebihnya sembilan puluh sembilan persen adalah ketidaktahuan.
Jadi makna hikmah di sini lebih dari “sekadar” pelajaran kebaikan yang kita baru temukan setelah kejadian tertentu. Melalui kerendahan hati tadabbur kita menyadari bahwa hikmah adalah putusan dan ketetapan Allah yang menjadi “tali kendali” bagi dialektika setiap realitas objektif alam semesta.
Jadilah Rabbaniy!
Jadi, saat menyeru ke jalan Tuhan (Rabb), ordinat kita sesungguhnya berada dalam sembilan puluh sembilan persen semesta ketidaktahuan. Menyadari situasi ini pilihan kata “sabiil” ternyata sangat tepat karena ia menunjuk pada makna “jalan” secara umum, global, dan abstrak. Namun, kata “sabiil” dirangkai dengan kata “rabb” sehingga membentuk makna yang spesifik.
Secara etimologis “rabb” berarti pengasuh, pendidik, pengatur, pemelihara yang semua itu berfungsi menumbuhkan. Kata “rabb” menjadi salah satu nama Tuhan karena Dia adalah pengasuh, pendidik, pengatur, pemelihara yang sejati.
Makna tadabbur dari rangkaian “sabiil” dan “rabb” (sabiili rabbika) adalah jalan pengasuhan, jalan pendidikan, jalan pengaturan, jalan pemeliharaan yang berada dalam kasih sayang Allah Swt. Manusia yang menempuh jalan ini serta sekaligus meneladani kandungan sifat rabb dinisbahkan sebagai rabbaniy. “Tidak sepatutnya seseorang diberi Al-Kitab, hukum, dan kenabian oleh Allah, kemudian dia berkata kepada manusia, “Jadilah kamu para penyembahku, bukan (penyembah) Allah,” tetapi (hendaknya dia berkata), “Jadilah kamu para rabbaniyyina karena kamu selalu mengajarkan kitab dan mempelajarinya!” (Ali Imran: 79).
Rabbaniy adalah hamba yang menempuh jalan sekaligus meneladani sifat pengasuhan Allah. Ia tidak pernah berkata, “Jadilah kamu penyembahku, pengikutku, idolaku, jamaahku!” Tidak juga menjeratkan tali otoritas keimanan, kesalehan, kesufian di leher siapa pun agar menjadi pendukungnya. Sama sekali ia tidak memiliki gelagat untuk membesar-besarkan dirinya.
Sebaliknya, seorang rabbaniy justru berkata, “Jangan menjadi pengikutku karena di hadapan Allah aku tidak sanggup menjamin keselamatan diriku sendiri. Jadilah pengagum dan pengikut Nabi Muhammad karena aku, engkau dan kita semua mengharapkan syafaatnya!” (Achmad Saifullah Syahid/Omah Padhangmbulan)
Jombang, 7 Maret 2023