GONDELAN KANJENG NABI, MENGEMIS WELAS ASIHE GUSTI
(Tawashshulan JM Se-Solo Raya Jilid 3, Minggu, 13 November 2022, Gedung IPHI, Ampel, Boyolali)
Tawashshulan Jamaah Maiyah Se-Solo Raya jilid 3 digelar di tempat berbeda. Jika biasanya bertempat di Masjid Wisanggeni, Gatak, Sukoharjo, pada Minggu malam Senin (13/11) kemarin bergeser ke barat, berlokasi di gedung IPHI Ampel, Boyolali. Yang bertindak sebagai panitia pelaksana adalah rekan-rekan Majelis Sang, simpul Maiyah Boyolali.
Sebelumnya, kami ingin mengapresiasi setingginya kepada teman-teman panitia (Majelis Sang). Jauh-jauh hari mereka telah mempersiapkan segala keperluan acara Tawashshulan. Mereka militan. Banyak dan kompak. Biaya penyelenggaraan sepenuhnya ditopang dengan cara patungan. Sinergi mereka tampak, sejak pra hingga pasca acara. Terbukti, gelaran Tawashshulan berlangsung aman, nyaman, dan lancar. Kalau pun ada kendala kecil di belakang itu hal biasa. Wajar. Dan pengalaman tetap menjadi guru yang terbaik.
Pukul 20.30 WIB, MasYai Islamiyanto ditemani Mas Nashir (ketua pelaksana) naik ke panggung. Selama satu jam, jamaah diajak menggaung agungkan kalimat thayibah. Memuja-muji Allah dan kekasih-Nya, baginda Muhammad Saw. Setiap kali mendengar dan melantunkan kalimat “Allah, Ya Nabi salam alaika, Ya Rasul salam alaika, Ya Habib salam alaika, sholawatullah alaika,” erasaan ini mumbul, haru, tak kuasa membendung airmata.
Usai bertawashshul, acara berlanjut ke sesi ngaji bareng. Mas Islami mempersilakan Cak Diqin untuk uluk salam, menyapa sedulur jamaah. Beliau mempersembahkan shalawat lir-ilir yang diiringi grup musik Kiai Sitinggil (Klaten). Jamaah turut bernyanyi, dan larut bersholawat bareng.
Mas Islami kemudian memaparkan perihal makna Tawashshulan. Kalau kata tawashshul memakai sin, artinya gondelan/ berpegangan. Kalau menggunakan shod, artinya “ngemis”. “Jadi bapak, ibu, dan teman-teman sekalian, kita berkumpul, bertawashshul malam ini, tidak lain dalam rangka berikhtiar untuk gondelan klambine Kanjeng Nabi, sekaligus mengemis welas asihe (kasih sayang) Gusti,” tutur Mas Islami.
Ada resep dari Kanjeng Nabi agar urip kita InsyaAllah slamet. Pertama, rajin muhasabah. Instrospeksi atau sadar diri. Sregep goleki kekurangane dewe. “Opo bedane antara petan karo didis?,“ tanya Mas Is. Kalau petan/ metani itu nggoleki kutu di rambut kepala orang lain. Sedangkan didis itu nggoleki kutu di kepala sendiri.”
Nah, sikap didis/didisi ini yang mestinya kita lakukan sehari-hari. Bercermin. Ngilo. Apa ya kesalahan yang sudah saya perbuat hari ini? Selama ini? Kalau sudah tahu itu salah segera berbenah. Perbaiki diri. Perbanyak istigfar. Ironinya, sekarang ini justru banyak orang yang gemar metani. Mencari-cari kesalahan, kekurangan, hingga aib orang lain. Coba tengok media sosial kita. Itulah gambaran wajah kita hari ini.
Resep yang kedua, waspada. Kalau menurut Mbah Nun, bahasa Islam-nya taqwa. Mas Is kemudian membagikan sebuah kisah tentang menantu dan mertua. Ada seorang menantu yang tidak suka dengan mertuanya. Lantaran sang mertua tersebut galak, pilih kasih, dan selalu memandang remeh si menantu. Suatu hari ia (menantu) pergi ke dukun untuk minta racun. Racun yang akan digunakan untuk meracuni sang mertua. Mbah dukun oke, tapi dengan satu syarat. “Setelah racun itu diminum, tiga bulan kemudian mertuamu akan mati. Nah, selama tiga bulan sebelum mertuamu mati, kamu harus berbuat baik kepadanya,” terang Mbah Dukun. Si menantu pun sepakat.
Singkat cerita, sang mertua telah meminum “racun” itu. Sesuai kesepakatan awal, si menantu harus berbuat baik pada sang mertua. Setiap pagi ia buatkan teh hangat untuk mertua. Siangnya menyuguhi semangkuk sup. Malamnya menghidangkan roti bakar. Pokoknya ia terus berusaha untuk menyenangkan hati sang mertua. Berhari-hari. Berminggu-minggu. Berbulan-bulan.
Tanpa disangka, perlakuan baik si menantu yang saban hari ia lakukan, membuat trenyuh sang mertua. “Loh kok, jebul mantuku iki apikmen.” Perlahan sikap sang mertua berubah. Ia balik berlaku baik kepada si menantu. Si menantu juga kaget. Lama-lama sang mertua tambah sayang kepadanya.
Mendekati waktu 3 bulan, si menantu gelisah. Di satu sisi, ia tahu sang mertua bakal mati sebentar lagi. Di sisi lain, ia makin merasakan kasih sayang sang mertua, dan ia takut kehilangan mereka. Tanpa pikir panjang, si menantu meluncur menemui Mbah Dukun. Ia minta penawar racun agar mertuanya tidak jadi mati. Entah dengan cara apa, pokoknya Mbah Dukun harus “membatalkan” kematian itu.
Secara mengejutkan, Mbah Dukun berkata kepada si menantu.
“Racun yang dulu ku berikan padamu itu sebenarnya bukan racun. Itu hanya air biasa.”
“Maksudnya Mbah?”
“Lha opo edan, aku pengen mateni mbakyu ku dewe.”
Hikmah yang bisa kita ambil adalah sebelum melakukan tindakan apa saja, sebaiknya dipikir dulu. Dipertimbangkan matang-matang. Baik-buruknya. Manfaat-mudharatnya. Pantas tidaknya, dll. Berpikir sebelum bertindak itulah waspada. Itulah takwa. Satu lagi, keburukan ternyata kalah dilawan dengan kebaikan. Dan kebaikan akan selalu menang.
Sebelum bubaran, Cak Diqin membawakan nomor Eman-eman sebagai oleh-oleh untuk dibawa pulang Jamaah. Liriknya sangat puitik sekaligus otokritik. Berikut syairnya.
Eman-eman
Wong bagus ora sembahyang
Siro iku bagus endi
Siro lawan Nabi Yusuf
Wong bagus sregep sembahyang
Eman-eman
Wong ayu ora sembahyang
Siro iku ayu endi
Siro kelawan Zulaikhah
Wong ayu sregep sembahyang
Eman-eman
Wong sugih ora sembahyang
Siro iku sugih endi
Siro kelawan Nabi Sulaiman
Wong sugih sregep sembahyang
Eman-eman
Wong mlarat ora sembahyang
Siro iku mlarat endi
Siro kelawan Nabi Ayyub
Wong mlarat sregep sembahyang
Kita pasti kalah bagus dari Nabi Yusuf. Kalah ayu dari Zulaikhah, kalah sugih dari Sulaiman, dan kalah mlarat dari Nabi Ayyub. Bagus, ayu, sugih, mlarat, tidak menjadi penghalang bagi mereka untuk sembahyang. Dan bukan bagus, ayu, sugih, atau mlarat yang kelak dinilai disana (akhirat), melainkan kadar ketakwaan kita.
Jelang tengah malam, Tawashshulan dipuncaki dengan doa serta pujian Asmaul Husna. Ya Rahman, Ya Rahim. Ya Malik, Ya Quddus, Ya Salaam, Ya Mu’min, Ya Muhaimin. Ya Aziiz, Ya Jabbar, Yaa Mutakabbir. Yang Akbar hanya Engkau Ya Allah. Selain-Mu kerdil, semu, dan picisan.
Gemolong – Boyolali, 14 November 2022