Di Dieng Culture Festival, Mbah Nun dan KiaiKanjeng adalah Sesepuh
Selepas Tawashshulan dalam rangka peresmian Aula Achmad Sadjangi di Lengkong Rakit Banjarnegara, hari ini (04/09/22) Mbah Nun dan KiaiKanjeng hadir dalam acara Dieng Culture Festival (DCF) XIII 2022 dalam agenda Kongkow Budaya bersama Mbah Nun dan KiaiKanjeng yang digelar panggung Pandawa di Dataran Tinggi Dieng Wonosobo-Banjarnegara.
Teman-teman panitia Dieng Culture Festival meminta Mbah Nun dan KiaiKanjeng tidak hanya memuncaki rangkaian acara DCF tahun ini, tetapi juga nyungkupigebyar shalawat dan parade hadroh yang sudah dimulai sejak pagi. Gebyar shalawat dan parade hadroh diikuti kelompok hadroh dari 40 desa di sekitar Dieng, dan juga kelompok shalawat Ahbabul Mustofa dari Jogja. Gebyar shalawat ini dipimpin para habib, kiai, dan ustadz.
Salah seorang habib yang memimpin gebyar shalawat berpesan kepada para jamaahnya, “Kalian semua harus di sini terus sampai selesai. Kita menikmati shalawatan dari Hadratus Syaikh Emha Ainun Nadjib…”
Persis seperti yang diminta teman-teman panitia, dalam Kongkow Budaya tadi Mbah Nun dan KiaiKanjeng mengajak semua hadirin dan jamaah untuk menelaah kembali apa tujuan kita semua bershalawat serta sudah tepatkah cara dan etika kita dalam bershalawat. Mbah Nun menggambarkan bahwa bershalawat adalah shirotun nubuwwah, jalan yanga telah dibukan Nabi agar kita tempuh untuk menuju Allah, menuju Ridla-Nya. Nah, Mbah Nun berpesan jangan sampai perjalanan itu kejeglong hanya karena kita salah atau tidak tepat dalam memilih budaya musik yang dipakai dalam bershalawat, umpamanya menggunakan jenis musik koplo.
Mbah Nun lebih jauh menegaskan bahwa kita perlu ngerasakke apakah shalawatan dengan musik koplo itu kira-kira pas ataukah tidak. Di dalam bershalawat yang kita bawa adalah perasaan lembut dan halus kepada Kanjeng Nabi. Rasakanlah setiap jenis musik yang dipilih apakah mengekspresikan kelembutan tersebut ataukah tidak, agar kita tidak terpleset dalam cara atau sikap yang membuat Kanjeng Nabi Muhammad Saw. dan Allah Swt. kurang suka.
Itulah salah satu pesan utama Mbah Nun dalam membawa kembali jamaah dan hadirin khususnya para kelompok shalawat kepada ilmu dasar dalam bershalawat. Hal ini sangat berkaitan dengan kenyataan bahwa di dalam masyarakat muslim, kegiatan shalawatan sudah menjadi bagian tak terpisah, tetapi masih ada sisi ilmu yang perlu dibenahi, yakni ketika memilih jenis musik dalam shalawatan perlu dipertimbangkan dari segi apakah musik tersebut mencerminkan kelembutan hati kita serta apakah kiranya pantas jika musik dipakai dalam mengungkapkan cinta kepada Kanjeng Nabi.
Apa yang diwedar Mbah Nun berkaitan dengan adab dasar berupa perasaan lembut dan halus kepada Kanjeng Nabi yang boleh dikata sebagai nasihat yang langka tetapi sangat dibutuhkan di tengah telah cukup lama berlangsung kecenderungan histeria massa dalam shalawatan yang jauh dari kesubliman dan kelembutan rasa. Di sinilah kita merasakan Mbah Nun bukan sekadar pengisi acara, tetapi sosok orang tua atau Mbah yang mengingatkan kita. Ini sekaligus mengkonfirmasi sebutan Hadrotus Syaikh kepada Mbah Nun dari salah seorang habib yang memimpin gebyar shalawat tadi.
Syaikh adalah sebutan untuk sosok yang dituakan karena ilmu dan makna kehadirannya. Hadlarotus Syaikh adalah sapaan yang lebih memuliakan lagi kepada sosok Syaikh tersebut. Sewaktu Habib tersebut berpesan kepada jamaahnya, Mbah Nun masih di rumah transit dan sebagai Sesepuh sedang melayani beberapa orang yang meminta barokah doa untuk masalah yang dihadapinya.
Sikap teman-teman panitia DCF pun demikian, semuanya hormat dan ta’dhim kepada Mbah Nun layaknya para santri bersikap kepada gurunya. Malahan bukan hanya kepada Mbah Nun mereka hormat dan cium tangan, kepada Pakde-Pakde KiaiKanjeng pun mereka bersikap sama. Mereka juga mencium tangan Pakde-Pakde KiaiKanjeng. Dari DCF kali ini kita belajar bahwa terlampau permukaan bila memosisikan Mbah Nun dan KiaiKanjeng sebagai “mengisi acara”, melainkan bahwanMbah Nun bersama Pakde-Pakde KiaiKanjeng adalah sosok orang tua yang menemani, mengayomi, dan memberikan dukungan dan aspresiasi kepada anak-cucu yang sedang bergiat penuh dalam nguri-nguri budaya dan martabat bangsa seperti teman-teman panitia Dieng Culture Festival ini.
Jalinan yang terbentuk pun adalah rasa cinta dan kasih sayang. Saat memasuki venue, banyak yang mencoba menjangkau tangan beliau, ada pula yang berteriak, “Mbah Nuuun”. Saat Shalawat Nariyah dihadirkan KiaiKanjeng, terlihat beberapa jamaah mengikuti dengan sangat khusyuk hingga air matanya menetes.
Memuncaki kebersamaan siang tadi, Mbah Nun membawa semua yang hadir pada kedalaman nomor Takbir Akbar. Mbah Nun ajak anak cucu dan para jamaah memohon kepada Allah agar keberkahan diturunkan kepada mereka. Yang membawa air putih dipersilakan dibuka botolnya agar melalui nomor magis Takbir Akbar yang merupakan jalan untuk sebisa-bisanya kita semua “kantil” kepada Allah ini, Allah berkenan menurunkan berkah kepada semua hadirin.