DALAM TANDA KUTIP
Hidup di era sekarang, disadari atau tidak, bahkan mau tidak mau akan tergiring ke suatu pola tatanan kehidupan yang serba berbeda. Semenjak munculnya gadget dan android, hampir semua level usia manusia (anak-anak, remaja, pemuda, hingga orang tua) tak bisa dilepaskan dari penggunaan hp android tersebut. Seolah-olah manusia modern dewasa ini seperti kisah Dewi Anjani dan dua orang adiknya Guwarsa-Guwarsi yang berebutan Cupu Manik Asthagina pemberian ibundanya Dewi Windradi. Dengan bentuknya yang bulat dan menarik, konon Cupu Manik Asthagina yang notabene pemberian Bathara Surya itu lebih canggih ketimbang gadget atau hp android. Maka tak mengherankan bahwa dalam kisah pewayangan pun yang namanya benda IT (Informatika & Teknologi) seperti Cupu Manik Asthagina yang identik dengan gadget dan hp Android pun selalu menarik perhatian, bahkan cenderung dipakai ajang perebutan.
Bagaimana pun, di era modern seperti dewasa ini, penggunaan teknologi informasi atau IT termasuk gadget dan hp android tersebut memang, boleh jadi, merupakan suatu keniscayaan. Di samping banyak keuntungan atau kemanfaatan yang memudahkan dalam berbagai urusan dan kepentingan, termasuk pembelajaran di sekolah, namun di sisi lain dampak negatif pun mengintai kepada para penggunanya. Tak pelak kebiasaan narsistik atau kebiasaan suka pamer, kebiasaan acuh tak acuh atau tidak peduli terhadap sosial hingga menjadi a-sosial, mager (malas gerak) hingga sering sering emosi atau gampang marah ketika dipanggil dan sebagainya hampir-hampir menjadi pemandangan yang sangat lazim di dunia modern kini. Belum lagi kalau perangkat tersebut dipergunakan untuk melihat hal-hal yang tidak senonoh pula.
Sementara, kalau dikaitkan keadaan dalam ranah perpolitikan mutakhir belakangan ini, terutama jelang pemilu (pemilihan umum), hampir-hampir tak bisa dilepaskan dengan tabiat nge-prank (membohongi). Bukan hanya kebiasaan para politisi semata, tetapi juga para pejabat elitis; seolah-olah kebiasaan nge-prank itu merupakan hal yang lazim. Hampir semua pejabat yang melakukan nge-prank seolah-olah tidak merasa berdosa atau tidak memiliki beban lantaran dianggapnya biasa-biasa saja. Tidak peduli apakah hal itu bertabrakan dengan dimensi moralitas dan etika. Boleh jadi, mereka memiliki dalih yang ampuh; setelah berita nge-prank tersebar di medsos (media sosial), toh setelah di-counter attack oleh para buzzer, permasalahan akan selesai dengan sendirinya. Awalnya terjadi pro dan kontra dalam medsos, tetapi lama-kelamaan permasalahan tersebut menjadi mengambang atau bias; tidak jelas mana yang benar dan mana yang salah. Dan, ujungnya berakhir akan lenyap dengan sendirinya.
Segala permasalahan yang terjadi di medsos yang kemudian menjadikan perdebatan sengit di antara para netizen, termasuk di dalam grup-grup WA (WhatsApp), sebenarnya mereka (para netizen) dapat dikategorikan menjadi tiga kelompok, yakni:
Pertama, kelompok yang sok tahu. Kelompok ini seolah-olah mewakili apa saja yang telah di-share ke medsos atau grup-grup WA. Sekiranya materi tersebut menguntungkan baginya yang sesuai dengan kepentingannya, maka tanpa konfirmasi atau tanpa cross-check kebenarannya terlebih dahulu langsung me-share.
Kedua, kelompok yang berusaha mencari tahu. Segala informasi yang tersebar baik di medsos maupun di grup-grup WA tidak ditelan mentah-mentah, tetapi berusaha melacak atau mencari kebenarannya.
Ketiga, kelompok yang tidak mau tahu. Artinya, kelompok ini memiliki kebiasaan nggabyeg; seenaknya sendiri dan semau-maunya. Mereka tidak berusaha menemukan benang-merah terhadap permasalahan di medsos atau di grup WA, tetapi mereka asal me-share saja tanpa memperhatikan isi dan makna literasi yang terkandung di dalamnya.
Belum lagi maraknya penyakit minder yang diderita oleh hampir semua kalangan yang mengatas-namakan bangsa kita di depan bangsa-bangsa lain di dunia, sebut saja negara-negara maju. Keminderan itu misalnya melanda para pemain sepak bola kita ketika bertanding melawan pesepak bola luar negeri. Mereka, anak-anak pemain sepak bola itu nampaknya lebih merasa PD (percaya diri) ketika bermain di kandang sendiri. Juga para pejabat kita ketika berada di forum internasional. Dilihat dari gesture tubuhnya, kebanyakan pejabat kita masih minder atau tidak percaya diri mewakili bangsanya.
Keadaan tersebut semakin diperparah dengan kebiasaan negatif lainnya dari para pemangku kekuasaan, misalnya melalui pernyataan-pernyataannya yang lebih sering mengisyaratkan dengan tanda kutip. Ketika seseorang mengatakan “Aku ini adalah orang baik”, hal itu kalau dilihat dari perspektif Solomon’s Paradox atau Paradoks Solomon sesungguhnya justru memberikan makna bahwa dia bukanlah orang baik. Hal itu mirip, misalnya kebiasaan orang yang suka kemayu mengisyaratkan bahwa dia tidaklah ayu (cantik)!
Dari berbagai permasalahan tersebut di atas, baik permasalahan yang kerapkali terlihat di medsos atau grup-grup WA di gadget atau hp android, tabiat memiliki keminderan atau rasa minder dan kebiasaan para elite politik dan pejabat negara yang suka mengeluarkan pernyataan bernada tanda kutip yang mencerminkan betapa kita sebagai bangsa kurang fokus terhadap beberapa hal, yakni:
Pertama, kurang mendalam dalam pengenalan diri. Padahal, barangsiapa menemukan dirinya seolah-olah menemukan Tuhannya; “Man arofa nafsahu faqod arofa rabbahu.”
Kedua, kurang mendalam melihat ke perspektif akar budaya bangsa kita yang dalam hal ini antara Jawa dan Islam ibaratnya “tumbu oleh tutup”, sehingga tidak bertabrakan satu sama lain, sebaliknya saling mengisi dan memberi makna.
Ketiga, kembali fokus terhadap firman Allah Swt melalui kitab sucinya (al-Qur’an) dan meneladani Kanjeng Nabi Muhammad Saw. Apa saja yang kita lakukan sebagai anak bangsa di negeri ini, tentu diharapkan tidak berlawanan dengan firman Allah dan sunnah Nabi Saw, bahkan diarahkan untuk makin mendekatkan kepada-Nya.
Dan, itulah hakikat kebenaran yang esensial, tetapi nampaknya mulai pudar dan makin ditinggalkan oleh para elite politik dan pejabat elite. Bila kita tidak berpegang dengan kebenaran dan kebaikan sebagaimana yang termaktub dalam kutipan-kutipan ayat suci dan sunnah Nabi, lalu apakah kita akan melampiaskan pernyataan-pernyataan yang bernada tanda kutip?! Gak bahaya tah?
Demikianlah suasana dan kehangatan dalam diskusi dengan tema “dalam tanda kutip” jama’ah Maiyah SWA (Segi Wilasa Agung) Tulungagung, Jumat malam (24/11) lalu. Selain teman-teman pegiat Maiyah SWA Tulungagung, nampaknya maiyahan malam itu ada yang berbeda karena kedatangan Mas Jamal dari Progress Yogyakarta dan dua orang sahabat baru, yakni Mas dr. Budi Yuniarto dan Habib Ali dari Tulungagung. Memang biasanya diskusi bulanan jama’ah Maiyah SWA Tulungagung itu dilaksanakan setiap malam Setu Legi yang semestinya tanggal 10 November lalu, tetapi karena suatu hal maka diskusi mundur 2 minggu dan bisa dilaksanakan malam Sabtu ini.
Penulis adalah pegiat Maiyah SWA Tulungagung.