BELAJAR TRANSFORMASI TABIAT DIRI

(Liputan Majelis Ilmu Maiyah Juguran Syafaat Bersama Mbah Nun, Purbalingga 21 Januari 2023) 

Cuaca cerah bertabur bintang bergelayut di langit Purbalingga. Jam 20.00 Maiyahan Juguran Syafaat titi wancinya dimuai. Jamaah melingkar, mengunjukkan do’a pembuka dan bersiap menunaikan agenda pertama dan utama. Dipandu Mas Dedi Ismanto, jamaah memunajatkan Yasin dan Tahlil untuk yang Allah Muliakan Marja’ Maiyah Almaghfurlah Mbah Fuad.

Beliau Almarhum telah paripurna menitipkan raga di Sentono Arum, Mentoro, Jombang di hari Jumat yang diberkahi, dengan diantarkan oleh segenap keluarga, kerabat dan jamaah Maiyah. Mbah Nun pada upacara pemakaman menyampaikan bahwa Beliau Almarhum Mbah Fuad telah menempuh husnul hayat. Kemudian Kyai Hasan Sahal pada pengajian petang harinya menyampaikan ungkapan yang menguatkan, bahwa Beliau Almarhum Mbah Fuad adalah guru yang mengajari langsung dengan keteladanan.

Seusai do’a dan munajat, Juguran Syafaat bergulir pada sesi selanjutnya yakni mukadimah dari Kukuh dan Kusworo selaku moderator. Tepat pengantar awal dilontarkan, Mbah Nun dan rombongan telah tiba di pelataran pendopo Waroeng Juguran yang menjadi lokasi rutinan bulanan yang malam hari kemarin telah menginjak edisi ke-118 dengan tanpa jeda libur satu bulan pun. 

Dengan sigap, sejumlah penggiat yang diantaranya adalah teman-teman dari Merpati Putih Purbalingga memberikan pengawalan dengan arif dan santun sembari kelompok musik KAJ memandu jamaah melantunkan Sholawat Badar. Tanpa seragam, pendekar-pendekar muda menyebar di sejumlah titik mengamankan keadaan, mengantisipasi setiap keadaan, berjaga pada koordinatnya masing-masing. 

Syukur alhamdulillah, hingga ujung acara usai yang berlangsung adalah keromantisan nurani dan siapapun yang malam itu bergabung di dalam kerumunan pastilah kuat merasakan nuansa kangen seorang Simbah berada di tengah-tengah cucu-cucunya yang telah lama tidak disambangi. 

Estafet diskusi dimulai dari Mas Agus Sukoco menyampaikan welcoming note kepada Mbah Nun, lalu kelompok musik KAJ menyenandungkan lagu kebangsaan Juguran Syafaat berjudul “Untuk Simbah Guru”. 

Menginjak pukul 21.00 Mbah Nun menyapa dan menyampaikan sejumlah topik-topik pokok. Aktivasi ruh yang menjadi mata pelajaran pertama di era Ngaji Perubahan yang baru saja digulirkan di tahun 2023 ini memiliki arti penting agar anak-cucu Maiyah ini memiliki kuda-kuda yang kuat di dalam menghadapi perubahan yang dalam dua tahun ke depan akan terjadi perubahan yang mungkin tidak pernah disangka dan terbayangkan di saat ini. 

Kemudian Mbah Nun juga menyampaikan bahwa, kehidupan manusia begitu luas dengan segenap labirin dan mozaiknya. Oleh karena itu, arti penting dari adanya sesrawungan adalah agar kita bisa memoderasi tabiat kita dengan tabiat orang lain. Mbah Nun mencontohkan betapa dirinya dan Mas Sabrang memiliki karakteristik tabiat yang begitu berbeda, tetapi kesemuanya itu dapat dimoderasi, sehingga menjadi kemanfaatan yang besar. 

Mengintervali sesi, sejumlah talent dari teman-teman penggiat dan jamaah ikut ambil bagian. Lagu parodi Banyumasan lawas berjudul “Kaki Suta Adol Gendeng” dibawakan oleh kelompok KAJ membikin gayeng suasana. Kemudian disambung oleh Bunda Roro Suhartini, bundanya anak-anak Key Learning Camp (KLC) yang membawakan lagu “Engkau Menjelang”.  Kemudian Mbah Nun mengelaborasi liriknya, Dunia Sudah Habis Bagiku. 

Suguhan penampilan berikutnya oleh Dik Tita, putri penggiat Maiyah Purbalingga Almarhum Arung Samudra yang termasuk paling militan dalam keperintisan Juguran Syafaat dahulu dengan menyenandungkan keroncong “Apa Ada Angin di Jakarta”. 

Petugas soundman duduk di belakang mixer dengan sigap menerima setiap komplain ketika gangguan terjadi. Sejumlah jamaah memilih duduk nyaman di luar dua pendopo yang sudah disediakan, menyebar di sisi kiri panggung juga di sisi belakang Sebagian. Tim runner dan dokumentasi yang wira-wiri memantau keasyikan pemilihan tempat duduk mereka masing-masing, meskipun mereka tidak mendapat privilese tampilan visual namun seperti pada Maiyahan dimanapun saja, mereka tetap khidmat dan terlibat. 

Malam itu, sejumlah jamaah dibagi dalam empat tim kecil ditugaskan khusus mendiskusikan topik pantikan dari Mbah Nun. Selain itu, dalam diskusi Mbah Nun bertanya apakah Maiyah? Mbah Nun kemudian menjelaskan bahwa Maiyah adalah laboratorium. Mbah Nun juga memberikan rumus 3:1. Apakah itu? Yakni 3 bulan melakukan tindakan penumbuhan tertentu, bisa mencakup aspek apa saja, asalkan hal itu bisa diukur. Lalu kemudian satu bulan dilakukan refleksi dan reformulasi. 

Bagi orang-orang yang memiliki growth mindset, juga berjiwa pembelajar, tidak mungkin tidak takjub pada pola dan metode pembelajaran di Maiyah. Jamaah bukan hanya setor kuping, forum Maiyahan bahkan begitu demokratis sebagai sebuah freedom of speech. Lalu para penanya dan perespons tidak melalui pengkondisian apapun, ruang spontan penuh pertengkaran ide tidak mungkin akan begitu indah terjadi jika tidak dilandasi oleh kedewasaan rohani dan romantisme nurani. 

Di era baru “Ngaji Perubahan” ini, naik satu eskalasi lagi pembelajaran di Maiyah ini, yakni penentuan aspek riset laboratorium diri yang akan dikerjakan sekaligus sepaket dengan pengukuran dampak atas pertumbuhan yang terjadi.

Sekitar 800 jamaah memadati restaurant & meeting hall di Jalan Raya Purbayasa yang terletak tepat di bawah Lapangan Desa Karanggambas, Padamara Purbalingga malam hari itu. Lapangan tersebut juga merupakan petilasan Sinau Bareng Cak Nun dan KiaiKanjeng yang pertama kali digelar di Purbalingga pada 2012 lalu. Event yang terselenggara berkat gotong royong dan soliditas lingkar-lingkar Sholawat Jamaah Maiyah yang sudah terbentuk di sekitaran Purbalingga saat itu. 

Evaluasi untuk forum Maiyahan Juguran Syafaat malam hari itu adalah, waktunya kurang lama. Lewat tengah malam, diskusi yang dielaborasi dari empat hasil rembug kelompok yang telah ditugaskan di awal sesi tadi menjadi pemantik tema yang luas dan mendalam. Secara kognitif, sejauh yang saya dapat simak ada banyak pemahaman yang baru dan genuine yang lahir dari presentasi singkat hasil diskusi kelompok yang kemudian direspons oleh jamaah lain dan diperdalam oleh cangkulan pemahaman lebih lanjut dari Mbah Nun. 

Salah satunya mengenai bagaimana kita diberi paham mengenai konstruksi dan konstelasi hubungan di dalam rekonstruksi kisah Ibrahim-Kapak-Namrud dan juga mengenai Musa-Khidhir yang diaktualisasikan pada situasi kekinian di sekitar kita. 

Mbah Nun dhawuh, bahwa media sosial tidak heran di era digitalisasi yang begitu modern saat ini begitu meruangi tabiat manusia yang berangkat dari sudut pandang keburukan atau yang dikenal sebagai Al-ammarah bis suu’. Perilaku individu yang lebih menikmati ekspresi komunikasi dari sudut pandang kebencian adalah pemicu fatal dari kondisi komunal kita hari ini yang lebih dipenuhi oleh informasi-informasi yang mindsetnya adalah keburukan. Begitu sempit ruang untuk bisa setitik kebaikan itu bisa dihadirkan. 

Lantunan Hasbunallah menjadi penutup forum malam hari itu. Pantauan kontribusi pada livetwit dengan hastag #JSJan dan #SatuDekadeJS mengekspresikan oleh-oleh apa saja dari datang Maiyahan malam hari itu. Bahwa memang Maiyah bukan hanya sebatas forum kultivasi kognitif semata, karomah Maiyah terefleksi pada salah seorang jamaah pada postingan medsosnya, bahwa seorang jamaah itu amat merasa bersyukur, kegelisahan dan pertanyaan yang menggamit di batinnya, terjawab oleh Mbah Nun malam hari itu. “Dan jawaban tersebut bukan hanya bisa diterima dengan akal,” ungkapnya di linimasa. 

“Ada peristiwa yang tidak bisa dijelaskan dengan akal, tetapi harus dimengerti dengan ruh,” ungkap Mbah Nun. Hidup ini pendek, teruslah bertransformasi, Mbah Nun begitu dekat menemani. 

Lihat juga

Back to top button