BEKAL TAQWA DALAM KEHIDUPAN PENUH LABIRIN

(Liputan Kenduri Cinta Jakarta, 11 November 2022) 

Hidup memang penuh labirin. Perjalanan setiap manusia dalam menjalani kehidupan tidak selalu mulus, akan selalu menghadapi tikungan, tanjakan, turunan, jalan yang berlobang, dan lain sebagainya. Seringkali, dalam merencanakan sesuatu, meskipun kita sudah mempersiapkan semuanya dengan detail, selalu ada saja hal-hal mengejutkan, yang ternyata kita tidak siap menghadapinya.

Pengalaman kita menjalani pandemi Covid-19 dalam tiga tahun terakhir ini adalah satu bukti betapa meskipun manusia sudah mencapai banyak hal, dengan segala kecanggihan teknologi yang ditemukan, pada akhirnya kita mengakui bahwa kita tidak siap menghadapi virus Covid-19 saat virus ini pertama kali muncul. Baru setelahnya, secara perlahan kita beradaptasi dengan banyak hal  yang sebelumnya sangat asing dari kebiasaan kita.

Bagaimana caranya kita beradaptasi? Salah satunya adalah dengan mengasah kepekaan dalam diri kita. Terkadang, kita meremehkan sesuatu hal yang mungkin kita tidak menganggap penting, namun ternyata yang kita remehkan itu bermanfaat bagi kita. Memang begitulah hidup, begitu mudah kita menyepelekan hal-hal yang menurut kita tidak kita butuhkan, padahal sesungguhnya belum tentu itu tidak bermanfaat bagi kita, karena seringkali parameter kita adalah tentang keinginan bukan tentang kebermanfaatan.

Seperti halnya kita datang ke forum Maiyahan semacam Kenduri Cinta ini, sebenarnya ada banyak hal yang mungkin lebih membahagiakan kita daripada hadir di forum diskusi seperti Maiyahan ini. Daripada datang ke Taman Ismail Marzuki, bukankah lebih enak jika tidur dan rebahan saja di rumah? Tetapi, kita memilih untuk tetap hadir di Kenduri Cinta, karena kita memahami ada manfaat yang akan kita dapatkan di Kenduri Cinta. Mbah Nun hadir atau tidak, pada akhirnya bukan suatu persoalan, karena yang esensial dari forum Maiyahan itu adalah semangat untuk belajar bersama, bukan terfokus pada satu sosok atau figur.

Tidak dipungkiri memang bahwa Mbah Nun adalah magnet utama di Maiyah. Wacana-wacana segar yang disampaikan Mbah Nun memang menjadi daya tarik tersendiri bagi kita. Namun, seiring berjalannya waktu, kita pun kemudian memahami bahwa apa yang ditanam Mbah Nun adalah semangat belajar bersama, sinau bareng, yang pada akhirnya siapapun narasumbernya yang hadir di Maiyah, kita akan selalu mendapatkan insight baru.

Tema “Sesanti Hati Kekasih” ini adalah tema yang memang dikhususkan untuk mengajak jamaah masuk ke ruang yang lebih lembut dalam dirinya. Sejalan dengan melatih kepekaan dalam diri, manusia perlu untuk terus mengasah sensitivitas dalam dirinya agar tetap selalu peka dengan keadaan dan situasi di sekitarnya. Bahkan terhadap hal yag sangat lembut sekalipun.

Membedah tema, salah seorang jamaah, Jagad, menyinggung tentang susunan kata-kata dalam tema, kenapa Hati dulu baru Kekasih, bukan Sesanti Kekasih Hati, melainkan Sesanti Hati Kekasih. Menurut Jagad, karena memang Hati adalah unsur yang sangat penting dalam diri manusia. Amien Subhan mengiyakan pernyataan Jagad, bahwa sebagai manusia itu perjuangannya adalah memantaskan. Setiap manusia memiliki perannya masing-masing, dalam ruang lingkup yang berbeda-beda. Dan hati adalah kunci utama dalam memantaskan diri, disaat manusia terkungkung oleh hawa nafsu, maka ada hati yang akan berperan sebagai penyeimbang antara nafsu dan akalnya.

Fahmi lalu menukil Surat Ath-Tholaq ayat 2-3; wa man yattaqillaha yaj’al lahu makhrojaa wa yarzuqhu min haitsu laa yahtasib. Setidaknya, Allah Swt. sudah berfirman kepada kita bahwa jika kita bertaqwa kepada Allah, maka Allah akan memberikan jalan keluar saat kita menghadapi sebuah persoalan. Bahkan, bukan hanya dijanjikan solusi atas permasalahan, tetapi juga akan diberi rezeki yang tidak disangka-sangka.

Ayat ini menjadi satu pijakan bagi kita untuk menghadapi resesi ekonomi tahun depan yang menurut banyak ahli akan sangat berdampak pada kehidupan sosial masyarakat. Dengan bekal taqwa, setidaknya kita memiliki pondasi yang kuat untuk menyandarkan hidup kita hanya kepada Allah Swt. Dan dengan bertaqwa itu pula menjadi salah satu jalan bagi kita untuk memantaskan diri kita di hadapan Allah Swt. 

Sepakbola dan Geopolitik Global

Beberapa hari lagi, kita akan menyaksikan gelaran Piala Dunia di Qatar, yang ternyata dari berbagai sudut pandang, kita dapat melihat bahwa sepakbola hari ini bukan hanya sekadar olahraga yang menjadi sebuah industri, bahkan bisa lebih dari itu. Sepakbola bisa digunakan sebagai alat politik. Ada beberapa hal yang cukup menjadi alasan mengapa pemilihan Qatar sebagai tuan rumah Piala Dunia 2022 karena faktor politik yang dilakukan oleh Perancis saat itu.

Di antaranya adalah; Qatar Sports Investment membeli klub PSG yang sekarang menjadi salah satu klub kaya di Eropa. Kemudian, salah satu raksasa media Qatar yaitu beIN membeli hak siar Liga Perancis. Di luar bidang olahraga, setelah pemilihan tuan rumah Piala Dunia 2022 saat itu, Qatar membeli 24 jet tempur buatan Perancis, lalu dalam industri penerbangan, Qatar Airways membeli 50 pesawat baru dari Airbus.

Dari peristiwa sepakbola dan gelara Piala Dunia saja, kita akhirnya bisa melihat betapa kerakusan beberapa pihak demi keuntungan kelompoknya, mampu membutakan mata hati mereka. Bahkan meskipun dengan mengubah kebiasaan yang ada, misalnya biasanya Piala Dunia dihelat di bulan Juni-Juli, tapi pada tahun 2022 ini digelar pada bulan November-Desember.

Pun pada akhirnya, ketika Tragedi Kanjuruhan yang terjadi di Indonesia sampai hari ini tidak mampu diselesaikan oleh PSSI, kita pun tidak terlalu kaget, karena memang ada banyak kepentingan yang bermain dalam industri sepakbola di Indonesia ini. 135 nyawa manusia yang menjadi korban dalam Tragedi Kanjuruhan nyatanya tidak cukup untuk menyadarkan para stakeholder sepakbola di negeri ini untuk melakukan iktikad baik mereka melakukan perubahan dalam tata kelola sepakbola.

Malam itu, Habib Anis turut merespons mengenai Piala Dunia di Qatar. Menurut Habib Anis, apa yang dilakukan oleh Qatar itu sesuatu hal yang wajar dilakukan oleh orang kaya. Ketika seseorang memiliki uang yang banyak, maka akan ada hal-hal yang sebenarnya tidak perlu dilakukan, tetapi kemudian dilakukan, meskipun dengan cara menghamburkan uang yang banyak. Qatar, yang kita tahu bukan sebuah negara sepakbola, menjadi satu anomali ketika menjadi tuan rumah Piala Dunia 2022. Membangun stadion-stadion mewah dengan biaya yang tidak sedikit, yang notabene bukan negara sepakbola, sudah bisa diprediksi bagaimana nasib stadion-stadion itu setelah Piala Dunia. Belum lagi isu kemanusiaan yang ternyata dalam proses persiapan Qatar menjadi tuan rumah Piala Dunia ini memakan korban nyawa para pekerja yang tidak sedikit. Maka tidak mengherankan jika kemudian PSSI terkesan menutup mata tentang Tragedi Kanjuruhan, karena FIFA sendiri pun menutup mata terhadap apa yang terjadi di Qatar.

Habib Anis menyoroti bagaimana manusia modern sangat mudah dikotak-kotakkan dan mudah diprovokasi untuk terpolarisasi. Media sosial, menurut Habib Anis adalah alat yang digunakan untuk menjadikan manusia seperti hewan ternak. “Apa bedanya hewan dengan hewan ternak?”, tanya Habib Anis kepada jamaah malam itu. Jika hewan, ia hidup sesuai dengan fitrahnya sebagai binatang. Sementara hewan ternak, ia hidup dalam aturan main pihak yang menjadikannya hewan ternak. Ia dikapitalisasi untuk diambil manfaatnya, sehingga tidak sepenuhnya hidup sesuai dengan fitrahnya sebagai binatang yang diciptakan oleh Tuhan.

Gegeran-gegeran yang terjadi di dunia, yang disebarluaskan melalui media sosial, seringkali dibesar-besarkan oleh pihak tertentu untuk mengalihkan perhatian masyarakat dari hal-hal yang semestinya mendapatkan atensi yang lebih besar. Habib Anis menegaskan bahwa di Al-Qur`an sudah dinyatakan bahwa manusia di dunia adalah ummatan wahidah, ummat yang satu, tetapi kemudian kita dikotak-kotakkan, dibeda-bedakan oleh beberapa pihak. Sehingga kemudian kita sekarang sangat sibuk dengan urusan suku, agama, dan ras.

“Peradaban kita saat ini semakin membuat kita jauh dari realitas diri kita sendiri,” lanjut Habib Anis. Padahal, semestinya manusia mampu hidup berdaulat sebagai dirinya sendiri. “Siapa sebenarnya kekasih kita? Itu yang harus kita pertegas melalui forum malam ini,” tegas Habib Anis. Siapa yang mengasihi hatinya, itulah kekasihnya. Jika manusia sejak bangun tidur yang dipikirkan adalah uang, maka uang adalah kekasih hatinya. 

“Manusia hidup memerlukan teladan, memerlukan uswah”, lanjut Habib Anis. Maka, Allah mengutus Rasulullah Saw. sebagai uswatun hasanah bagi seluruh ummat manusia, bukan hanya bagi ummat Islam saja.

Setelah jeda dari Twin Jazz, diskusi di Kenduri Cinta semakin gayeng dengan kehadiran Ustadz Noorshofa, Habib Husein Ja’far, dan Cak Rifa’i.

Cak Rifa’i merespons tentang perbincangan mengenai ancaman resesi di tahun depan, bagaimana energi memiliki peranan penting dalam sebuah Negara mengelola krisis. Menurut Cak Rifa’i, secara Negara bisa jadi Indonesia akan mengalami resesi dengan dampak yag cukup berat. Namun secara komunal, masyarakat Indonesia sudah memiliki bekal untuk menghadapi resesi ekonomi tahun depan.

Kita melihat fakta di lapangan, di Jakarta saja, saat kita masuk 1 gang kecil, ada berapa banyak warung yang berjualan di satu deret jalan tersebut? Apakah mereka bersaing satu sama lain? Tidak. Mereka masing-masing meyakini bahwa rezeki itu sudah diatur oleh Tuhan. Mereka tidak khawatir dengan banyaknya warung-warung yang berjualan, mereka yakin bahwa rezeki Tuhan itu tidak akan tertukar. 3 tahun pandemi Covid-19 di Indonesia memperlihatkan daya survivalitas masyarakat Indonesia yang luar biasa hebat. Bagaimana antar tetangga saling support, saling berbagi, saling menguatkan, saling mengingatkan. Kesadaran komunal yang secara alami tumbuh.

Malam itu di Taman Ismail Marzuki, ada agenda lain yang juga terselenggara, yang dipuncaki dengan penampilan grup musik. Karena lokasi panggungnya tidak terlalu jauh dengan lokasi Kenduri Cinta digelar, suara alunan musik yang terdengar pun cukup keras. Uniknya, jamaah Kenduri Cinta tidak bergeming, bahkan tetap fokus menyimak paparan-paparan narasumber yang hadir malam itu. Habib Ja’far kemudian bercerita bahwa ada satu kisah dimana sahabat Nabi yang pada suatu hari ketika ia shalat, di tengah-tengah ruku’nya ia teringat dengan seorang pengemis di luar Masjid, lalu ia memberikan cincin yang ia gunakan kepada pengemis tersebut. “Itu merupakan ruku’ terbaik dalam sejarah Islam,” ungkap Habib Ja’far.

“Dan kita sebenarnya mewarisi hal itu. Di tengah ruku’ dan sujud kita saat shalat di Masjid, kita masih ingat sandal kita. Itulah puncak keduniawian kita”, lanjut Habib Ja’far disambut tawa jamaah. Mengenai kemampuan untuk tetap fokus terhadap sesuatu, Habib Ja’far kembali menekankan bahwa ketahanan diri kita untuk tetap mampu fokus pada satu hal adalah bekal yang penting ditengah disrupsi informasi yang semakin liar hari ini. 

Berkaitan dengan tema, Habib Ja’far menyampaikan bahwa nasihat yang baik adalah nasihat yang datang dari hati. Sehingga, saat nasihat itu disampaikan tidak akan menyinggung perasaan orang lain yang dinasihati. Bahkan, marah sekalipun jika datangnya dari hati, akan menghadirkan kebijaksanaan. Dalam satu riwayat, saat Rasulullah Saw. bersama para sahabat berkumpul di Masjid setelah shalat maghrib. Di tengah-tengah mereka berkumpul, tercium aroma tidak sedap seperti bau kentut. Ketika salah seorang sahabat mengungkapkan rasa amarahnya, bahwa ada yang berani buang angin di hadapan Nabi, sahabat yang lain menahan diri dan mengatakan, biarkan saja, saat sholat Isya’ nanti pasti yang kentut akan mengambil wudhlu. Seketika itu Rasulullah Saw. berdiri lalu mengatakan; “Sebaik-baiknya orang yang beriman adalah yang selalu memperbaiki wudhlunya,” perilaku Nabi yang mungkin juga tersinggung saat ada sahabat yang kentut justru menunjukkan kebijaksanaannya, bahwa beliau tidak ingin mempermalukan salah satu sahabatnya di depan umum hanya karena rasa tersinggungnya itu.

Habib Ja’far juga menyinggung inetraksi di media sosial hari ini yang pada faktanya didominasi oleh mereka yang merasa benar sendiri. “Kita itu seperti berkomunikasi tetapi tidak komunikatif,” lanjut Habib Ja’far. Ada banyak perdebatan di media sosial yang tidak pernah menemukan ujungnya karena masing-masing dari mereka yang berdebat memiliki pemahamannya masing-masing mengenai kebenaran yang diyakini.

Kita bersyukur di Maiyah kita memiliki guru-guru seperti Mbah Nun, Ustadz Noorshofa, Habib Anis, Habib Ja’far dan yang lainnya, yang secara simultan memperkaya khasanah Islam kepada kita, terutama tentang Sirah Nabawiyah. Kita bersyukur, meskipun berjarak 14 abad lamanya era kita dengan era Rasulullah Saw., kita mampu mengenali beliau, mampu memahami ajaran-ajran beliau melalui guru-guru kita.

“Rasulullah Saw. itu integritasnya luar biasa,” Ustadz Noorshofa menyambung paparan Habib Ja’far. Maka ketika Rasulullah Saw. menyampaikan nasihat, akan sampai kepada yang dinasihati dan akan diterima dengan baik. Integritas itu satu nilai yang mutlak diperlukan manakala kita ingin memberi teladan kepada orang lain. Tidak mungkin orang yang tanpa integritas lalu mendaat kepercayaan dari orang lain. 

“Rasulullah Saw. itu berdakwah dengan hati sehingga yang dilakukan oleh beliau juga menyentuh masyarakat dengan hati, sehingga dakwahnya dapat diterima dengan baik”, lanjut Ustadz Noorshofa. Berbeda dengan Nabi Musa As, misalnya, yang Allah Swt. memberinya mukjizat berupa tongkat yang mampu membelah lautan, sehingga membuat orang percaya bahwa ia adalah Nabiyullah. Begitu juga dengan Nabi Sulaiman As., yang diberi mukjizat dan kemuliaan berupa materi, memiliki istana yang megah, mampu berbicara dengan binatang. Tetapi tidak dengan Rasulullah Muhammad Saw., beliau berdakwah dengan cobaan dan ujian yang sangat berat.

“Rasulullah Saw. hatinya selalu untuk ummatnya, bahkan saat sakaratul maut pun yang dipikirkan oleh beliau adalah ummatnya; ummatii…ummatii…ummatii”, Ustadz Noorshofa menambahkan. Bahkan Allah Swt. dalam salah satu ayatnya berfirman; wa la saufa yu’tiika robbuka fatardhlo, Allah Swt. pun meminta ridhlo kepada Rasulullah Saw. sebagai kekasih-Nya, dan dalam satu tafsir dijelaskan bahwa Rasulullah Saw. menyampaikan bahwa hal yang membuat beliau ridhlo adalah jika tidak ada satupun ummatnya yang masuk ke dalam api neraka.

Kenduri Cinta edisi November kali ini sangat membahagikan, ada banyak khasanah-khasanah ilmu yang terpendar. Tidak kurang namun juga tidak berlebih. Betapa kita bersyukur dipertemukan dan dipersaudarakan di Maiyah, salah satunya melalui Kenduri Cinta ini, sehingga melalui majelis ilmu seperti ini kita sejenak menepi dari hingar bingar dunia, untuk menemukan hal-hal yang sejati yang sesungguhnya kita butuhkan sebagai manusia.

Lihat juga

Lihat juga
Close
Back to top button