BAYU ADALAH GURU SAYA

Beliau menderita kanker tulang. Badannya kurus kering, otot-otot alat geraknya dan tubuhnya mengecil, karena tak pernah digunakan. Wajahnya pucat, bibirnya kering dan ada bekas darah kering yang menempel di sudut bibirnya.

Dia masih sempat tersenyum ketika saya menyambanginya pertama kali.

“Eh, Cah bagus mondok lagi, jadwal kemo po le (Eh… Anak cakep, rawat inap lagi…, jadwal masuk obat (kemo) kah?,” tanya saya. 

Dia menggeleng sambil senyum.

Kemudian ibunya menimpali, “Mboten Dok, Niki wingi Bayu drop (Enggak Dok, kemaren Bayu drop kondisinya. ”

Saya kemudian mempelajari catatan medisnya. Saya mendapati parameter laboratoriumnya menurun, dan dari catatan medisnya diketahui, Bayu baru seminggu sebelumnya menjalani kemoterapi untuk penyakitnya. Maka kondisinya yang sekarang patut diduga akibat dari kemo yang dia jalani. Walaupun Bayu sudah sekian siklus menjalani tanpa ada gangguan yang berarti, tapi tampaknya kali ini tubuh Bayu kurang bisa mentolelir dengan baik atas gempuran kemoterapi yang dia terima.

Baca juga: CACAR MONYET (by: dr. Eddy Supriyadi)

Memang pengobatan yang dilakukan untuk penyakit (termasuk kemoterapi) seperti pisau bermata dua. Dalam hal penyakit keganasan (kanker), kemoterapi dimaksudkan untuk mengeradikasi sel-sel ganas yang ada di dalam tubuh. Sayangnya akibat pengobatan itu, sel-sel yang sehat pun terkena imbasnya. Salah satu akibatnya adalah sistem pertahanan tubuh akan menurun juga. Akan tetapi, jika sel ganas tidak digempur, maka sel-sel ganas tersebut di dalam tubuh atau di dalam organ tertentu atau bagian tubuh tertentu, akan tumbuh sangat tak terkendali sehingga akan mendesak organ utamanya dan akan bisa menjalar ke bagian tubuh yang lain. Ini yang disebut metastasis.

Pada kasus kanker tulang, organ tubuh yang menjadi target metastasis ini adalah paru-paru. Kalau si sel kanker sudah kluyuran sampai paru-paru, maka chance untuk sembuh jadi berkurang. Ini adalah itung-itungan manusia, berdasar analisis empiris yang dilakukan.

Hari demi hari saya mendapati kondisi Bayu semakin menurun. Saya selalu berusaha mendengarkan apa yang menjadi keluh kesah dari Bayu maupun ibunya.

Ketika weekend, saya mendapat kabar dari dokter jaga yang bertugas mengawal Bayu. Bahwa Bayu mengalami shock (renjatan). Renjatan adalah suatu kumpulan gejala klinik yang merupakan suatu kondisi gagal sirkulasi dan perfusi. Kondisi ini berbahaya atau membahayakan. Kondisi emergensi. Harus segera ditangani, dan diawasi secara ketat.

Sampai pada informasi, bahwa ibunya menghendaki ‘stop semua obat yang masuk’!

Senin pagi saya hampiri bed Bayu. Kedua matanya bengkak. Mulutnya ditutupi kain kasa basah. Ibunya menunjukkan adanya perdarahan di mulutnya, dan saya bilang ke ibunya, “Ibu, kami semua menghargai keputusan Ibu maupun keluarga. ”

“Ibu dan keluarga menghendaki apa?”

“Kami menginginkan semua obat yang masuk dihentikan….”

“Baiklah Bu, kami akan hentikan semua obat, kecuali akses infus untuk memasukan cairan serta selang oksigen akan tetap kami pertahankan,” jawab saya.

Kami, saya dan teman teman perawat, fellow dan residen, kemudian berbicara banyak hal, tentang keputusan, tentang bagaimana menghormati orang lain, tentang bagaimana agar Bayu tidak merasa sakit, agar selalu ada ‘asa’ ada usaha. Dan yang penting adalah selalu menyandarkan kepala kita kepada-Nya.

Saya masih terngiang dengan kuliah Cak Nun tentang ‘hidup itu silmun’. Saya kemudian melepaskan cengkeraman keilmuan saya, saya tanggalkan baju kedokteran saya untuk kemudian berbicara kepada Bayu, kepada ibunya, kepada perawat, fellow, residen dan kepada diri saya sendiri.

Kami tidak lagi membicarakan obat. Kami tidak lagi membicarakan penyakit, perawatan penyakit, efek samping obat, transfusi darah, nutrisi dan lain hal yang berhubungan dengan sakitnya Bayu.

Kami sekarang berbicara dengan hati, dengan tatapan mata, dengan tetsan air mata, dengan mimik dan raut muka serta berbicara tentang mukjizat Allah.

Saya meninggalkan bed Bayu dengan diam sambil membayangkan apa yang terjadi dengan pasien-pasien seperti Bayu yang saya temui di St Jude Hospital, Memphis.

Saya sedih sekali. Kepada siapa harus mengadu?

Ya’qub menjawab: “Sesungguhnya hanyalah kepada Allah aku mengadukan kesusahan dan kesedihanku, dan aku mengetahui dari Allah apa yang kamu tiada mengetahuinya“. (QS. Yusuf: 86).

Ahh, andaikata negara kita kaya dan bisa memfasilitasi penyakit-penyakit seperti yang diderita oleh Bayu dan kawan kawan sepenanggungannya.

Andaikata….

–KAI121–

Lihat juga

Lihat juga
Close
Back to top button