ANTARA AKU, DIA, DAN JOGJA

7 Oktober disepakati sebagai hari jadi Kota Jogjakarta. Kenapa yang dipilih bukan 13 Februari (1755, Perjanjian Giyanti), saya juga tidak tahu. Sudah tugas rakyat untuk tidak tahu dan legawa saja. Toh ini hanya tanggal ultah, bukan tanggal pernikahan. Bahwa Jogja sudah 266 tahun itu biasa. Tahun depan bakal 267. Tahun depannya bakal 268 dst. Akan begitu seterusnya sampai terompet Izrofil ditiup. Yang utama adalah mencari Jogja yang sebenar-benarnya. Jogja seperti apa yang kita mau-i. Jogja bagian mana yang kita tresnani. Jogja yang mungkin belum terasa pas di sana-sini.

Banyak suara mengeluh tentang tambalan aspal yang nggronjal. Tidak sedikit yang kecewa karena Alun-Alun Utara ditablek pasir Parangtritis, tapi tidak dibolehkan menggelar lomba voli pantai di sana. Sehingga memaksa Pasar Malam pindah ke bekas kampus STIE. Klithih masih jadi memedi sawah kaum melèk bengi. Plus disertai respons-respons pemangku hajat warga Jogja yang kurang sigap dan terkesan menyepelekan. Kita tahu itu semua, terima saja. Tugas kita sebagai rakyat adalah menerima dan diam, sembari tetap mengantar anak sekolah setiap pagi dan boleh kadang-kadang nyruput kopi.

Tidak sedikit pula yang sudah bosan dengan kemacetan terutama di saat weekend. Satu sisi ini adalah rezeki. Sisi lain ini membutuhkan pengelolaan super serius dari Pemda/Pemkot Jogja.

UMR? Waduh… ini adalah trademark banyolan mengenai Jogja di medsos. Titik-titik genangan air ketika hujan sudah tambah di mana-mana. Ketinggian berjalan cepat melebihi kecepatan rerata UMR Jogja. Bagaimana bisa 1,850K di cak né di masa crypto dan robot trading menggerogoti pelan-pelan mental milenial. Boba saja sudah menyentuh angka 19K.

Sisi lain, Malioboro sekarang menjadi surga pejalan kaki. Kaum mahasiswa dan spesies healing gemar sekali menghabiskan memory card gajet mereka di bawah papan nama Malioboro yang sangat ikonik. Titik Nol tidak pernah sepi. Bahkan ketika pandemi tingi-tingginya, kami warga jogja berani ambil resiko untuk berkumpul dengan satu tujuan bersama: cari penyakit; di situ. Kami kuat, hebat, dan punya jargon andalan ketika ada yang menyoal, yaitu, “…KTP ndi kowe??”.

Lihat juga

Suka tak suka Jogja adalah saya, kalian, dan mereka. Mau di-olak-alik, ya ini Jogja. Yang bisa kita lakukan adalah mencintai dan menjadi manusia duk dhèng saja. Karena Jogja terbuat dari masing-masing kita.

Sugeng Tanggap Warsa Kanjeng Nabi… Shollu ‘alaih..!

#hutjogja #266

Lihat juga

Back to top button