POSISI PANDANG DAN SREGEP MENCATAT

Hingga hari ini tulisan yang dikirim penggiat simpul terus mengalir. Mukaddimah dan Liputan Sinau Bareng yang diselenggarakan simpul menyapa kita secara rutin. Bukan hanya itu. Flyer Maiyahan pun tidak kalah ciamik dibandingkan Bauhaus style. Harmoni perpaduan teks dan komponen desain menjadi keniscayaan di tengah jagat media sosial.

Pertanyaan teknisnya, bagaimana kita mengaplikasikan sudut pandang, cara pandang, lingkar pandang saat menulis liputan Sinau Bareng? Bagaimana memilih sudut pandang (angle) liputan yang akurat? Bagaimana caranya agar kita tidak kualahan memilih posisi pandang? 

Sinau Bareng merupakan majelis ilmu yang memiliki tajdid dan furqon cukup kompleks. Ketika Maiyahan berlangsung sisi mana yang tidak menarik ditulis? Sudut pandang apa yang tidak unik? Dimensi mana yang tidak mengandung novelty? Muatan apa yang tidak penting? Kandungan isi pembahasan apa yang tidak menjangkau dunia sekaligus akhirat? Semua yang menarik, unik, novelty, dan penting tumplek blek jadi satu.

Ketika menulis reportase Pengajian Padhangmbulan saya juga mengalami hal itu. Berat memang karena muatan ilmu yang disampaikan Mbah Fuad dan Mbah Nun bukan hanya padat, tapi pada saat yang sama bersifat cair. Selain menyajikan kedalaman muatan liputan pembaca juga perlu merasakan kegembiraan berselancar di gelombang Maiyahan. 

Bagaimana cara merumuskan angle menulis liputan yang mendalam tapi tidak berat dipahami? Kita dapat menggunakan enam pertanyaan: apa, siapa, kapan, di mana, mengapa, bagaimana. Pak Budi Sardjono menambahkan intuisi dan imajinasi. Jadilah  5 W + 1 H + 2 I. “Apa pun tulisan kita seyogianya memberi inspirasi bagi pembaca,” pesannya pada workshop sinau menulis.

Saat menulis liputan Sinau Bareng di lingkaran simpul misalnya, kita mengajukan pertanyaan: apa saja angle yang menarik? Beberapa angle yang dapat dirumuskan adalah:

  1. Apa tema Sinau Bareng edisi bulan ini?
  2. Siapa yang terlibat dalam dialog?
  3. Mengapa mengangkat tema “ini” bukan tema “itu”?
  4. Bagaimana respons jamaah terhadap tema tersebut?
  5. Apa hubungan tema tersebut dengan konteks kehidupan jamaah?

Pilihan pada salah satu angle membawa kita pada konsistensi menggali bahan-bahan yang diperlukan. 

“Syarat utama menulis adalah kudu sregep,” pesan Mbah Nun. Sregep apa? Kalau menggunakan angle kedua: siapa saja yang terlibat dalam dialog, maka kita sregep mencatat identitas pembicara, latar belakang keterlibatannya di Sinau Bareng, pendapatnya tentang tema, dan seterusnya. 

Kalau memilih angle bagaimana respons jamaah terhadap tema Sinau Bareng, maka sregep mewawancara dan mencatat pendapat beberapa jamaah adalah langkah selanjutnya untuk mengumpulkan bahan tulisan. Kita mencatat apa yang paling berkesan dari pembahasan tema, apa kalimat kunci dari Mbah Nun yang membuka pikiran, mengapa kalimat itu bukan kalimat yang lain?

Berawal dari fokus pertanyaan angle kita memiliki panduan untuk mengumpulkan bahan penulisan. Bahan-bahan tersebut lantas disusun menjadi outline dan disajikan dalam tulisan.

Tulisan yang tidak fokus pada angle akan berkelana ke mana-mana. Angle yang ngglambyar membuat tulisan atau liputan menjadi seperti masakan tanpa garam. 

Jagalan, 1 Desember 2022

Lihat juga

Back to top button