MENYAMAR ITU ASYIK 

Catatan Srawung Pasar Kinanti Sakola Motekar

Minggu Wage Pagi menjelang siang yang agak dingin, pasca hujan sebentar. Tanah liat nampak masih basah, sementara yang banyak unsur pasirnya telah kering. Welha baiknya cuci muka dulu ini, kata batin saya. Buru-buru saya ke kamar mandi di sebelah pojok timur-utara Saung Imagine Sakola Motekar, Ciamis. 

Maklum sekira pukul 1/2 4 pagi saya baru bisa memejam mata. Banyak kawan banyak saudara beda-beda asal sekaligus daerah domisili yang saya nikmati hadir mereka sejak jum’at kemarin membuat tubuh ini enggan bersegera  tidur. Jadinya ya.. buegadangg dang-ding-dang melepas rindu, saling mengulik kabar, menghempas canda tawa ke udara. 

Ouh ya, biar “njenengan” pembaca yang saya hormati tidak menerka-nerka dari mana saja hadirin,  Probolinggo Jombang Sidoarjo Karanganyar adalah daerah-daerah domisili anggota “brayat etan”. Kebumen Purwokerto Cilacap Yogyakarta brayat tengah, kemudian brayat barat Bandung Ciamis Tasik Tangerang Jakarta. Bhinna Asal Satu Tujuan, berTemu Nasional ke-10 sekaligus berMilad ke-7 Gerakan Anak Bangsa (GERBANG). Itu pun masih belum “komplit”, sebab beberapa daerah yang lain sedang berhalangan hadir, karena keperluan hidup baik diri atau keluarga masing-masing yang tidak bisa ditinggalkan. Kira-kira 30% jumlahnya. 

Whuss, saya geser catatan ini ke percakapan saya dengan Ibu-Ibu penjual dagangan di lapak paling timur selatan. Kalau dari depan (foto Pasar Kinanthi yang saya sertakan), ada tiga lapak “alami” sebelah kiri dan 3 di kanan. Enam jumlahnya, entah kenapa ada 6. Dugaan saya, sesuai penjelasan Pak Kuwu (sebutan untuk kepala desa) pada dialog Jum’at malam kemarin, mungkin masing-masing lapak disediakan bagi tiap RT. 

Yess, jumlah RT di situ ada 5. Lapak yang satunya? Kan ada enam. Dugaan saya lagi, lapak tersebut adalah lapak “pamomong pasar”. Tempat penginisiasi, pengelola, penata bagaimana sistem dan aturan main Pasar Kinanti Sakola Motekar. Semoga benar, tapi saya kira memang demikian adanya. 

Bu, jajanan ini namanya apa saja ya? Bisa saya dijelaskan? 

Oh, ini Jajanan Sehat semua Pak. Kami buat tanpa bahan-bahan kimia yang tidak baik untuk kesehatan. Tau kan Pak yang bikin kita sakit itu? 

Oh, gitu ya Bu. Bagus sekali. Iya saya tahu. Trus, yang ini, ini, ini, semua namanya apa Bu? 

Sekejap kemudian saya diterangkan nama, bahan, asal-usul, dan kenapa memiliki warna yang berbeda dari tiap jajanan. Saya simak dengan hati gembira, satu demi satu saya coba bayangkan rasanya. Terbawa suasana, sampai saya lupa nama-namanya hingga tulisan ini Anda baca. Hihi.

Bu, kalau saya beli semua item ini berapa? Masing-masing satu saja boleh? Biar merasakan semuanya. 

Boleh Pak. Bentar Pak. Dibungkus daun pisang aja ya Pak? 

Oke sip Bu, jawab saya lalu Si Ibu dan Ibu satunya menata jajanan ke “pincuk besar” daun pisang. 

“Ini semua berapa Bu? Bayar langsung atau bagaimana? tanya saya. 

Boleh pakai uang langsung, boleh juga pakai “koin kayu” yang bisa Bapak tukar di pojok sana Pak. 

Oh, gitu ya, jawab saya penasaran (kenapa ada koin kayu). 

Pincuk besar berisi 10 an item jajanan sudah di tangan. Waduhh “akeh tenan, piye le ngentekke ikih,” kata saya pelan. 

Lur, ayok dicicipi bareng. Ini ndak mungkin saya makan semua, kata saya ke teman-teman brayat etan yang juga berkeliling ke lapak-lapak. Berharap ada yang mbantu makan, berharap kegembiraan “njajan sehat” kami rasakan bersama, sambil saya geser ke lapak selanjutnya (paling depan sebelah kanan). 

Saya duduk sebentar di batang pohon yang melengkung samping lapak. Melihat sekeliling, tak lupa menikmati jajanan di tangan. Ada yang seperti “ketan juruh”, ada sosis kecil dibalut mie, gethuk ubi ungu. Tiga item saja yang saya ingat, maaf kalau tidak komplit saya sebutkan. Serius lupa. 

“Bu, boleh nanya-nanya?” kata saya pada 3 Ibu penjaga lapak sayuran segar. 

Boleh Pak. Silakan. 

Kalau boleh, Ibu bisa ceritakan apa bedanya sebelum ada pasar ini dan sesudah ada? 

Wah, banyak bedanya Pak. Bapak dari mana, kok logatnya beda. Bisa ke sini, apa baru ke sini sekarang? 

Saya dari Yogya Bu, iya baru sekali ke sini. 

Oo, gitu. Banyak Pak perbedaannya sebelum dan sesudah ada pasar ini. Pertama, kami jadi banyak silaturahmi dengan siapa saja yang ke sini Pak. Ada pejabat, perangkat desa, warga desa lain, orang-orang dinas, mahasiswa, murid dan gurunya, pokoknya banyak yang ke sini “ulin” Pak. 

Kedua, belum lama ada “bule-bule” datang ke sini. Ke KWT kami juga. Mereka senang lho dengan Kelompok Wanita Tani kami. Seru sekali kemarin. 

Lho, trus gimana ngobrolnya dengan mereka Bu? Apa Ibu bisa? 

Ya, sebelumnya kami belajar dulu di sini Pak. Selamat pagi, selamat siang, apa kabar, harga dagangan, bahasa inggris yang mudah gitu-gitu Pak. 

Wah, asik ya Bu. Trus yang ketiga apa Bu? 

“Kemarin KWT kami juara 2 se-kabupaten lomba tanam jagung Pak”, kata Si Ibu yang nampak berbinar-binar penuh semangat bercerita ke saya. Sayuran ini semua kami tanam sendiri di pekarangan atau teras rumah lho Pak, sahut Si Ibu satunya teriring senyum tanda bahagia menjual hasil usaha tani sendiri. 

Saya terdiam, seketika mengingat tema Mocopat Syafaat bulan kemarin yang Garis Besar Haluan Nagari. Lha ini sudah nyata terjadi nagari, kata batin saya. Bisa diduplikasi, bisa dijadikan referensi haluan nagari, kata batin saya lagi. Hmmm.

“Yang ke-4, kami jadi ada tambahan pemasukan Pak. Bisa buat beli beras rumah”, lanjut Si Ibu bercerita. 

Itu tuh Pak, itu Pak Deni yang kuncirnya kayak bule. Beliau yang bikin Sakola Motekar ini. Pokoknya gara-gara Pak Deni semua jadi begini Pak. Seneng lah kami ini ada yang merhatiin. 

“Gitu ya Bu, sip lah,” kata saya sesudah melirik seseorang yang ditunjuk Si Ibu. 

Terima kasih ngobrolnya Bu, maaf saya pamit dulu mau ke seberang. Kayaknya itu ada pecel ya Bu? 

Iya Pak, Ibu-Ibu RT 01 yang di sana. Kami ini RT 03. “Mangga” Pak kalau mau beli pecelnya. 

Langkah kaki saya kemudian terhenti di depan lapak no 2 sebelah kiri. Ada sabun batang berbagai bentuk, beberapa botol sabun cair, sabun batang dalam kemasan dan ada yang tidak, tertata rapi, “nyenengke tenan”. 

Lagi-lagi, saya memulai obrolan dengan Si Mbak yang jaga lapak. 

Mbak, sabun ini bisa buat apa saja? Apakah ready digunakan? Apa ada yang khusus untuk remaja putri, yang “recomended” maksud saya. 

Ada Pak. Ada sabun untuk badan, muka, yang batangan ini. Kalau yang cair ini bisa juga buat “sampoan”. Nah, yang ini khusus untuk remaja putri anak Bapak.

Gitu ya. Kalau buat yang kulitnya gatal-gatal apa ada juga? 

Ada Pak, yang bahan dasarnya ketepeng ini. Kami produksi semua sabun ini dari bahan alami, jadi tidak sama dengan sabun-sabun yang dijual umum Pak. Yang dikemas bentuk bunga ini sudah siap digunakan, yang belum seperti kotak ini masih nunggu beberapa hari lagi agar “matang”. Mangga Pak buat oleh-oleh keluarga di rumah. 

Ya ya ya. Sudah lama produksinya Mbak? Belinya mesti pakai koin kayu juga? 

Lumayan lama Pak. Ya betul, Bapak bisa tukar koin kayunya di sebelah. Silahkan. Ada pecahan 2, 5, 10. 

Benar juga. Dua langkah ke kiri saya dapati tumpukan koin kayu bundar berdiameter 10 cm-an. Angka 2, 5, 10 tertulis di sana. Hihi, ingatan saya melesat ke Sanggar Anak Alam (SALAM) Nitiprayan Yogyakarta. Pasti ada keterkaitan, kata batin saya. 

“Pak, tukar koin kayunya dong. 20 ribu saja untuk beli sabun batang di sebelah,” kata saya ke Bapak yang jaga lapak paling pertama dan kiri. 

Saya terima 3 keping koin kayu. 2 dengan angka 5, 1 dengan angka 10. Segera saya fungsikan untuk membeli sabun batang oleh-oleh putri saya yang remaja. 

“Ini Pak. Semoga putrinya senang dan besok Bapak beli lagi,” kata Si Mbak penjaga lapak sabun alami. 

“Terimakasih ya Pak, Mbak. Semoga besok-besok bisa ke sini lagi. Pamit dulu mau ke saung, ada yang tertinggal di sana”, pamit saya kepada dua Beliau penjaga lapak. 

Tambahan info, Pasar Kinanti ini memiliki ragam kegiatan rutin dan insidental, ini disesuaikan dg momentum dan kolaborator lainnya. Yang pernah : 

  1. Donor darah
  2. Peringatan Hari Besar
  3. Sosialisasi-sosialisasi
  4. Workshop

Alhamdulillah, mumpung bisa ke Sakola Motekar. Mumpung pas ada Pasar Kinanti. Mumpung masih di Ciamis. Mumpung Ibu-Bapak penjaga lapak pasar masih bisa saya tanya-tanya. Mumpung saya masih bisa menggali informasi langsung dari Beliau-Beliau. Plus mumpung “mereka” belum mengenali saya. 

Mumpung Ibu-Ibu penjaga lapak sayur tidak tahu kalau Pak Deni, Pak Rektor Sakola Motekar pemilik slogan “Nyieun Jalan Bari Leumpang” (Bikin Jalan sambil Jalan) yang mereka banggakan dan sayangi selama ini sebetulnya adalah salah satu murid saya. So.. menyamar itu perlu dan asyik. Mohon ijin sombong sedikit. Ahihihi. 

Pasar Kinanti Sakola Motekar Ciamis, Minggu Wage 12 Mei 2024.

Lihat juga

Back to top button