SEANDAINYA TUHAN PUN ‘BERLEBARAN’

(Mukaddimah Majelis Ilmu Bangbang Wetan Surabaya edisi Maret 2025)

Bulan Maret tahun ini terasa istimewa karena beriringan dengan Ramadan, bulan di mana umat Islam menjalankan ibadah puasa sebulan penuh, menahan lapar dan dahaga sebagai latihan spiritual. Menurut Mbah Nun, puasa mengajarkan kita bahwa hidup tidak hanya tentang hak, tetapi juga tentang kewajiban, larangan, dan anjuran. Puasa melatih diri untuk mengendalikan hawa nafsu, menumbuhkan kesadaran bahwa manusia sejati adalah yang mampu menahan diri demi mencapai ketakwaan.

Bagi banyak orang, Ramadan menyimpan kenangan masa kecil tentang tradisi seperti ngabuburit, berbagi takjil, tarawih, ronda keliling, hingga khataman Al-Qur’an. Namun lebih dari itu, puasa adalah momentum pembentukan diri. Dalam berbagai Maiyahan, Mbah Nun menegaskan bahwa keistimewaan puasa terletak pada hubungannya dengan Allah. Jika ibadah lain pahalanya diberikan kepada pelakunya, puasa adalah milik eksklusif Tuhan. Dengan satire, beliau menyampaikan bahwa manusia sejatinya lebih mencintai makan daripada berpuasa, namun justru dalam menahan lapar dan dahaga itulah ketakwaan meningkat.

Setelah menjalani puasa Ramadan, kita menantikan lebaran pada hari raya Idul Fitri. Mbah Nun memiliki pandangan menarik tentang Idul Fitri. Dalam Puasa itu Puasa (hal. 143), beliau menjelaskan bahwa Idul Fitri bukan sekadar perayaan kemenangan pribadi, tetapi juga momentum kolektif yang menjadikan kita lebih dari sekadar komunitas (community) atau masyarakat (society). Kita menjadi ummah—sebuah persaudaraan yang berlandaskan kohesi, ketulusan, dan daya tarik-menarik nilai-nilai Allah: kesederajatan antar manusia, kebenaran nilai, keadilan realitas, dan kebaikan akhlak.

Namun, Mbah Nun mengingatkan bahwa Idul Fitri harus membawa perubahan sosial yang lebih mendalam, bukan sekadar kegembiraan bersama keluarga dan teman. Keceriaan Lebaran tak boleh melupakan realitas bahwa di sekitar kita masih ada ketidakadilan, diskriminasi, dan eksploitasi. Sensibilitas terhadap hal ini penting agar Idul Fitri benar-benar menjadi gerbang perubahan yang memperkuat persaudaraan sejati dalam ummah.

Maka, kita diajak bertafakkur: sejauh mana kita telah mengupayakan nilai-nilai Idul Fitri dalam kehidupan? Lebaran sejati bukan hanya tentang kembali bersih, tetapi juga tentang kepasrahan total kepada Allah. Mbah Nun sendiri merayakan Lebaran dengan kepasrahan yang dalam, menyadari bahwa hakikat Idul Fitri bukan hanya tentang pengampunan dosa, tetapi juga ketundukan sepenuhnya kepada kehendak-Nya. Sikap ini lahir dari ketakutan mendalam: jika Tuhan ‘ikut berlebaran’—tidak lagi menahan murka-Nya—apa yang akan terjadi pada kita? Jika Ia tak lagi menangguhkan hukuman atas kekufuran dan kesewenangan kita, bagaimana nasib kita? Penguasa besar maupun kecil akan terguling, dan mereka yang haknya dirampas akan menuntut keadilan.

Lihat juga

Dalam Majelis Ilmu Bangbang Wetan edisi Maret 2025, yang akan berlangsung pada 13 Maret di Pendopo Taman Budaya Cak Durasim Surabaya, mari kita pasrah total kepada Allah, meningkatkan ketakwaan kepada-Nya, dan berdoa sebagaimana yang diajarkan Mbah Nun dalam Puasa itu Puasa (hal. 147): Ya Allah, ya Rahman, ya Rahim, lindungilah kami. Bantulah kami mengidulfitri di lutut kuasa-Mu. Wa la aqwa ‘ala naril jahim. Di neraka, tak kuat hamba, ya Rabbi!

(Redaksi Bangbang Wetan)

Lihat juga

Back to top button