LABA SEDULURAN, MENEMUKAN KESEIMBANGAN DALAM KEBERSAMAAN

Forum diskusi Juguran Syafaat edisi ke-143 kembali digelar di Hetero Space, Purwokerto, pada Sabtu, 15 Februari 2025, mulai pukul 20.00 WIB. Mengusung tema “Laba Seduluran”, forum ini mengajak jamaah untuk mendalami makna keseimbangan dalam kehidupan melalui berbagai perspektif, mulai dari refleksi spiritual, budaya, hingga tantangan zaman modern. Acara diawali dengan Tilawah Tartil Terpimpin oleh Mas Rizky yang membacakan Surat Al-Mulk Juz 29. Suasana syahdu membuka malam yang penuh renungan ini.
Mas Naim membuka diskusi dengan menyapa jamaah yang hadir, menyadari bahwa banyak wajah-wajah baru yang bergabung. Karena itu, ia mengajak peserta untuk sejenak menengok ke belakang, merangkum kembali apa yang telah didiskusikan pada edisi sebelumnya.
Tak lama berselang, Pak Titut hadir dan turut menyapa jamaah. Ia berbagi cerita tentang “seni kejadian” yang terjadi di malam minggu di Purwokerto—kota yang semakin padat dan macet.
Sebagai pemanis suasana, Pak Titut membawakan single terbarunya, “Nyanyian Serangga Malam”, yang diakhiri dengan tepukan khas “keproki.. keproki..” yang selalu mengiringi penampilannya. Dengan penuh syukur, ia mengenang bahwa dirinya telah hadir sejak Juguran Syafaat edisi pertama, dan hingga kini acara ini tetap berlangsung.
Malam itu, Pak Titut juga membacakan sajak yang baru saja ia tulis, berjudul “Bisik-Bisik Mesra Daun Bambu”, sebelum kemudian berbicara tentang pentingnya keseimbangan dalam hidup. Ia menganalogikan keseimbangan seperti layang-layang, yang membutuhkan tali goci agar tetap terbang dengan stabil. Dalam konteks kehidupan, keseimbangan antara dunia dan akhirat adalah kunci untuk memperoleh keajaiban hidup.
Sejalan dengan itu, Mas Kusworo memperkenalkan ebook Laba Seduluran, yang bisa diunduh secara gratis. Ia menyoroti pertanyaan reflektif dalam ebook tersebut, seperti: “Berapa orang yang kamu kontak karena benar-benar ingin menyapa, bukan hanya karena butuh?”
“Ternyata di dalam circle kita sendiri, ketone bareng, tapi asline belum punya kesadaran untuk saling topang, saling sangga-menyangga,” ujar Mas Kusworo, mengajak peserta untuk lebih memaknai arti seduluran dalam keseharian.
Diskusi semakin menarik ketika Mas Akil berbagi pengalaman tentang kesibukannya dalam organisasi yang membuatnya lupa memikirkan diri sendiri. Kesibukan yang tak terkendali bisa membuat seseorang kehilangan arah dalam hidup.
Mas Rizky kemudian mengingatkan kembali pesan dari Mbah Nun, bahwa yang terpenting dalam hidup adalah menjaga martabat. Caranya adalah dengan membangun reputasi di bulan kemarin, dan menata seduluran di bulan ini.
Ia juga menyinggung bagaimana paseduluran telah lama menjadi bagian dari budaya kita—terwujud dalam berbagai tradisi seperti wayangan, tahlilan, hingga rajaban. Modal sosial dan simbolik yang diwariskan oleh para leluhur adalah kekayaan yang harus dijaga dan dikembangkan.
Masuk ke isu yang lebih luas, Mas Agung, seorang praktisi cyber security, mengangkat topik yang cukup serius: ancaman terhadap persaudaraan akibat judi online.
“Judol hari ini bukan sekadar ancaman, tapi serangan yang serius,” ujar Mas Agung. Ia kemudian menjelaskan bagaimana model bisnis dan supply chain dari jaringan judi online bekerja, yang semakin merusak tatanan sosial.
Menanggapi hal ini, Mas Rizky bertanya, “Apa betul Indonesia ini di ambang kehancuran? Jangan-jangan kita sudah hancur bertahun-tahun, hanya saja kita terlalu tahan menghadapi keadaan.”
Menurutnya, jika kita membaca kondisi saat ini dengan akurat, maka negeri ini diibaratkan sebagai lahan yang sudah terbakar habis. Ekspektasi akan perubahan besar mungkin bukanlah solusi yang menyeluruh, tetapi inisiatif kecil yang bertunas—“nunggak semi”—dapat menjadi harapan bagi masa depan.
Pak Titut kembali memberikan pemaparan, kali ini mengenai sejarah judi dari masa ke masa. Ia mengingatkan bahwa kunci menghadapi ancaman sosial seperti ini adalah dengan “aja gumunan, aja kagetan”—tidak mudah terkejut atau kagum pada hal-hal baru yang belum tentu baik.
Ia juga berbagi kisah pribadi tentang bagaimana ia menggunakan waktunya untuk mendidik cucunya dengan baik. “Saya sedang nunggak semi dalam bentuk meng-install pendidikan yang baik untuk cucu saya. Alhamdulillah baru 5 tahun, tetapi daya observasi cucu saya luar biasa,” ujar Pak Titut.
Berpindah ke Kang Riswanto yang berbagi refleksi tentang bagaimana forum ini dihadiri oleh orang-orang yang datang dengan ketulusan, di tengah zaman yang dipenuhi oleh orang-orang yang hanya mengejar laba.
Ia menyoroti fenomena di Campakoah, di mana pusat sumber kelapa justru mengalami kekurangan buah kelapa saat harga melonjak tinggi. Ini menggambarkan bagaimana hari ini, semua orang berburu keuntungan tanpa memikirkan dampaknya.
Mas Rizal kemudian menambahkan bahwa rasa seduluran akan semakin kuat ketika seseorang telah melewati masa sulit bersama.
Mas Kasito juga berbagi cerita tentang agenda kegiatannya di Jagad Bocah serta ikut merespon tema dengan peribahasa Jawa, “Tuna sathak, bathi sanak”, yang berarti kerugian materi tidak masalah, asalkan tetap mendapat keuntungan dalam bentuk persaudaraan.
Waktu mendekati jam 12 malam, sebagai moderator di sesi penutupan Mas Kusworo menyampaikan pesan agar jamaah hadir lebih awal karena seperti biasa Juguran akan dimulai tepat waktu pukul 20.00.
Diskusi malam itu tidak hanya sekadar obrolan, tetapi juga menjadi cermin refleksi bagi setiap peserta. Bahwa dalam kehidupan, keseimbangan harus dijaga, persaudaraan harus dirawat, dan kita harus terus menanam kebaikan sekecil apapun—karena di sanalah sejatinya laba seduluran yang sesungguhnya.
Dengan penuh makna dan kehangatan, Juguran Syafaat edisi Laba Seduluran pun ditutup, meninggalkan inspirasi bagi setiap yang hadir untuk terus menumbuhkan seduluran sejati dalam kehidupan mereka. (Anggi Fajar Sholih/RedJS)