KEMBALI MEMBUMI DI TENGAH HURU-HARA
(Liputan Sinau Bareng Paseduluran Maiyah Pasuruan Edisi September 2025)

Sabtu malam, 13 September 2025, Warkop Be Berkah di Jalan Sunan Ampel, Kota Pasuruan, menjadi saksi rutinan Sinau Bareng yang digelar oleh Paseduluran Maiyah Pasuruan. Malam itu, kegiatan mengusung tema “Yang Membumi”, menjadi titik sentral diskusi para jamaah.
Acara dibuka dengan tawashshulan, pembacaan wirid Maiyah, dan sholawat Nabi, sebagai pembuka spiritual yang menenangkan suasana. Diskusi kemudian dimulai dengan pemaparan Mas Rizal, yang mengawali dengan keresahannya melihat kondisi Indonesia saat ini. Ia menyoroti huru-hara yang terjadi akibat sikap pejabat yang kurang membumi; di tengah penderitaan rakyat, mereka justru mempertontonkan sikap minim empati.
Mbak Marhamah menambahkan, di tengah situasi yang cukup panas ini, diperlukan cara untuk mendinginkan suasana dengan membahas hal-hal yang lebih membumi. Para jamaah pun antusias menyampaikan pendapat dan gagasan mereka. Diskusi berkelindan dari analogi bumi, tanah, dan tanaman, hingga refleksi tentang degradasi moral bangsa yang kian mengkhawatirkan.

Cak Ros, seorang guru sekaligus seniman perupa, memberikan perspektifnya: seringkali kita terjebak dalam keputusan-keputusan yang mengesampingkan keyakinan, sehingga ketika salah langkah terjadi, hidup terasa sesak. Sementara itu, Mas Eko, sastrawan puisi, menyegarkan suasana dengan mendeklamasikan beberapa ayat dari Surat Maryam, yang menekankan keajaiban Tuhan di tengah ketidakmungkinan menurut perspektif manusia. Pembacaan tersebut dimaksudkan sebagai motivasi untuk memupuk keyakinan bersama.
Diskusi malam itu mengerucut pada kesimpulan bahwa bangsa ini harus kembali membumi, dari akar rumput hingga kalangan elite. Kunci utama adalah pendidikan yang menanamkan nilai dan keteladanan, bukan sekadar mengejar prestasi. Dengan pendidikan yang tepat, setiap individu dapat membangun keyakinan nilai positif yang kuat, sehingga mampu membuat keputusan yang tepat ketika menghadapi dilema antara kejujuran dan kecurangan.

Sebagai refleksi penutup, disadari bahwa manusia berasal dari tanah dan kembali ke tanah. Bentuk penghambaan tertinggi adalah menempatkan dahi di atas tanah, sebagai simbol kerendahan hati. Kesadaran ini mendorong semua untuk berjuang dalam rakaat panjang memegang nilai-nilai kehidupan yang bermartabat dan berorientasi pada kebaikan.
Acara ditutup dengan doa yang dipimpin Gus Ishom, meneguhkan kembali tekad seluruh jamaah untuk membumikan diri dan nilai-nilai kebaikan dalam kehidupan sehari-hari.
(Redaksi Paseduluran Maiyah Pasuruan)






