HARMONI DARI TIMUR
(Catatan Maiyahan Paseduluran Maiyah Pasuruan Mei 2025)

Bangsa Nusantara adalah bangsa yang lahir dari gelombang samudra, ditempa oleh gunung-gunung berapi, dan dibesarkan oleh keragaman budaya yang membentang dari Sabang hingga Merauke. Sejak zaman purba, leluhur kita telah membuktikan ketangguhannya—membangun peradaban agraris dan maritim, menciptakan candi megah, membentuk kerajaan-kerajaan besar seperti Sriwijaya dan Majapahit, serta menjalin hubungan dagang dan diplomasi dengan dunia luar jauh sebelum penjajah datang.
Bencana alam, penjajahan, krisis, dan konflik pernah mengguncang negeri ini, namun tak satu pun mampu memadamkan semangat rakyatnya. Setiap luka menjadi pelajaran. Setiap runtuh menjadi pijakan untuk bangkit kembali. Ketangguhan bangsa Nusantara bukan sekadar soal bertahan, tapi tentang kemampuan untuk terus hidup, tumbuh, dan mencipta dalam segala keterbatasan.
Pasuruan menjadi saksi hidup perjalanan panjang Nusantara; dari jejak kerajaan kuno, denyut pelabuhan dagang, gelegar perlawanan rakyat, hingga geliat modernisasi zaman kini.
Sejak abad ke-11, ketika Pasuruan menjadi pusat perdagangan di muara Sungai Brantas, leluhur kita telah menunjukkan jiwa tangguh. Di bawah kepemimpinan Erlangga, kota ini tidak hanya menyatukan wilayah politik, tetapi juga menghubungkan Nusantara dengan dunia melalui jaringan maritim Samudra Hindia. Pedagang Pasuruan dengan cerdik menjalin hubungan dengan Tiongkok, India, dan Timur Tengah, menawarkan rempah dan hasil bumi, sambil menyerap budaya baru yang memperkaya khazanah lokal. Kapal-kapal dagang yang berlabuh di pelabuhannya membawa cerita tentang keberanian pelaut dan kecerdasan pengrajin yang menciptakan barang bernilai tinggi.
Pada masa Majapahit, kawasan ini dikenal subur dan menjadi penyangga logistik penting bagi kerajaan besar itu.
Tak hanya pusat agraris, Pasuruan juga tumbuh sebagai jalur spiritual dan keilmuan. Ulama-ulama besar dan wali-wali Allah datang dan menetap, membangun pesantren dan langgar sebagai pusat pembelajaran dan penyebaran Islam, menciptakan perpaduan harmonis antara budaya lokal dan nilai-nilai Islam.
Memasuki abad ke-17 hingga 19, Pasuruan menjadi salah satu pusat penting bagi VOC dan pemerintah kolonial Hindia Belanda. Letaknya yang strategis menjadikannya pelabuhan dagang utama, terutama dalam komoditas gula, kopi, dan hasil bumi lainnya. Tanah-tanah subur di lereng Gunung Bromo dan Arjuno dimanfaatkan oleh perkebunan-perkebunan kolonial. Kota ini tumbuh dengan wajah modern: rel kereta api, pabrik gula, kantor-kantor kolonial, dan pelabuhan internasional.Namun, di balik geliat ekonomi, Pasuruan juga menjadi titik bara perlawanan rakyat. Di pedalaman, para santri dan pejuang rakyat bergerak dalam sunyi. Beberapa tokoh lokal, yang kini namanya dilupakan sejarah arus utama, pernah menjadi duri dalam daging bagi penjajahan. Perlawanan di Pasuruan bukan hanya dengan senjata, tapi juga dengan ilmu, seni, dan keteguhan menjaga identitas.
Kini, Pasuruan adalah tanah pertemuan, berbagai etnis dan budaya hidup di dalamnya. Di satu sisi, ia masih hidup dalam denyut tradisi—dalam irama gamelan, shalawat di pesantren, dan aroma tembakau atau hasil bumi di pasar rakyat. Di sisi lain, ia menatap masa depan—dengan industri, pariwisata, teknologi, dan gerakan anak muda yang mulai mencintai tanah kelahirannya dengan cara-cara baru.
Seluruh narasi tersebut, seolah tergambar pada terselenggaranya Maiyahan yang dihelat Paseduluran Maiyah Pasuruan dengan tema “Ngetan” pada Sabtu malam, 10 Mei 2025. Bertempat di warung lesehan Lancar Langgeng yang diikhtiari oleh mas Bandi dan istrinya, para sedulur Maiyah dari berbagai sudut kota dan kabupaten Pasuruan berkumpul.
Beberapa tempo ini Paseduluran Maiyah Pasuruan memang sengaja mengadakan maiyahan di tempat usaha para sedulur Maiyah Pasuruan, itu dalam rangka untuk saling support satu sama lain.
Angin sejuk selepas hujan deras yang mengguyur beberapa wilayah di kabupaten Pasuruan mengiringi pembacaan tawashshulan. Wirid Maiyah dan shalawat yang dipimpin oleh Mas Andi terlantun hikmat meski dalam kondisi mati listrik selama beberapa saat.
Setelah bertawashshulan, sambil menikmati hidangan yang tersedia para sedulur saling bertegur dan bersapa satu sama lain. Dari Pandaan, Beji, Kraton, Bugul, Ranggeh, Blandongan, Grati bersama larut dalam kehangatan Paseduluran.
“Ngetan,” atau “ke timur” adalah upaya untuk menyalakan lebih banyak semangat untuk menjaga nyala Maiyah yang telah disebarkan oleh Mbah Nun. Timur adalah tempat terbitnya matahari, penanda kebangkitan-kebangkitan dan harapan baru. Dan, itu tergambar dari turut sertanya anak-anak kecil putra dan putri dari beberapa sedulur Maiyah Pasuruan. Diiringi senyum sapa para istri yang turut menemani, harmoni Maiyahan di bagian timur kabupaten Pasuruan menjadi lebih terasa. Selamat bertemu lagi di Maiyahan berikutnya, insya Allah, bismillah.
(Redaksi Lingkar Maiyah Pasuruan/Dhimas)